Preview

Hai, selamat datang di Neng Vina! Di blog ini kamu akan menemukan tulisan seputar kehidupan dan pengembangan diri. Barang kali kamu tidak akan merasa sendirian setelah membaca tulisanku. Enjoy my blog! 🧁

Perempuan yang Kehilangan Cinta Pertamanya

Perempuan yang Kehilangan Cinta Pertamanya
KATANYA, anak perempuan yang tidak dekat dengan ayahnya, tumbuh menjadi sosok yang haus kasih sayang. Katanya, perempuan yang sibuk mencari lelaki di luaran sana adalah karena tidak mendapatkan peran ayah di dalam rumah. Katanya, perempuan yang tidak percaya diri adalah karena kehilangan cinta pertamanya, ayah. Entahlah, katanya-katanya seperti itu.

Aku sedang tidak menyalahkan orang lain atas kesalah seorang perempuan. Apa lagi antara hubungan seorang ayah dan anak. Apa lagi aku percaya, bahwa pada masa pertumbuhan dan pendewasaan, ada kalanya kita diberi pilihan: berubah atau tidak. Ketika datang pilihan, artinya kita memilih dengan kesadaran. Dan, ke depannya sudah menjadi tanggung jawab sendiri dalam bertindak atau berperilaku.

Delapan belas tahun adalah waktu yang panjang bagi orangtua untuk mendidik, mengasuh, dan membekali diri kita sebagai anak. Agar ketika dewasa kita dapat mengenali jati diri sendiri. Agar ketika dewasa kita mampu mengambil keputusan dan menghadapi masalah. Agar ketika dewasa kita punya cita-cita dan kepercayaan diri yang baik.

Agar semua itu terjadi, orangtua memiliki peran penting. Baik ayah maupun ibu dan pekerjaan tersebut memiliki tanggung jawab yang besar. Namun, baik ayah maupun ibu, keduanya sama-sama harus berperan besar dalam mengasuh anak. Ibu bukan hanya mengurus rumah dan ayah bukan hanya memberi nafkah. Ayah, ibu, merekalah yang menjadi tonggak awal seorang anak dapat menghadapi kerasnya hidup.

Aku bicara begini bukan hanya sebagai seorang anak, kok. Toh, kelak aku akan mengemban tanggung jawab sebagai orangtua. :)

Agamaku mengajarkan—sebagai anak—harus menghormati dan menyayangi orangtua. Lantas, aku berdosa besar karena sulit menyayangi mereka. Ayah adalah sosok yang tegas dan galak. Masih membekas di memori momen: ayah mengunci aku dan adikku di kamar, dipukul karena merasa takut, diusir karena pulang lewat magrib, ditolak ayah masuk SMA favorit, dimarahi karena kesalahan-kesalahan lainnya.

Tentu saja, aku mengakui dan menyadari jesalahan ketika sudah dewasa. Lagian aku juga tidak mau jadi anak durhaka dan jahat. Aku pun masih ingat betul momen lain: waktu ayah bermain dengan aku duduk di pangkuannya, waktu ayah beliin sandal, waktu ayah beliin majalah Bobo yang ada Debo-nya, waktu ayah bawa aku ke dokter dan menemani cek darah, waktu ayah dan ibu beli obat di luar kota untuk aku, waktu ayah membayar administrasi rumah sakit karena kakiku terluka oleh beling. 

Ayah memang bukan tipe yang mengungkapkan sayang secara emosional dan eksplisit. Dampaknya, aku jadi kehilangan perasaan-perasaan emosional yang seharusnya aku dapatkan. Setidaknya segalanya berubah ketika badai itu datang memporak-porandakan seisi rumah. Tepatnya ketika aku mulai masuk SMA. Sebelumnya, aku suka betul baca novel dan cerbung, kebanyakan kisah anak SMA. Kisah kasih paling indah katanya kisah kasih di sekolah pada masa SMA. Bagi aku, masa SMA adalah masa paling buruk, bagian paling memalukan dalam hidup aku. 

Sejak badai datang, peran ayah makin jauh. Sudahlah jauh, makin jauh. Aku seakan-akan dilepas begitu saja, tanpa perhatian dan kasih sayang. Masih ingat betul, betapa aku masih seperti anak kecil di usia beranjak dewasa. Aku tidak tahu cara menyikapi kehidupan. Aku tidak tahu mau jadi apa. Aku tidak punya impian atau cita-cita. Aku bahkan tidak memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan. Aku merasa tidak berharga, tidak pantas, dan tidak percaya diri.

Di SMA aku selalu sendirian. Duduk di bangku paling depan sendiri. Ke kantin seorang diri. Makan siomai dan es teh sendiri di kelas. Aku merasa tidak pantas bergaul dan berteman. Ditambah saat itu tidak ada yang mau mulai berteman intens dengan aku. Aku pikir aku akan mendapatkan sahabat, nyatanya tidak. Aku sendirian. Sampai masuk kelas 12, setidaknya mulai ada satu dan dua teman yang mau berteman denganku. Sisanya? Kelam. Satu-satunya hal yang mewarnai masa SMA aku hanya sanggar seni. 

Kisah cinta? Apa lagi!

Tidak ada yang mau berteman, artisnya tidak akan ada yang mau mendekat. Aku tidak menuduh mereka, aku sadar diri betul. Siapa yang mau berteman dengan orang tidak asyik? Siapa yang mau berteman dengan orang tidak pintar? Siapa yang mau berteman dengan orang jelek seperti aku? Siapa yang mau berteman dengan aku? Dari fisik hingga psikis, aku benar-benar jelek saat itu. Ada yang bilang aku adalah madesu, masa depan suram. 

Ada satu momen paling memalukan. Saat itu aku sedang duduk di kursi keramik koridor sekolah saat class meeting. Aku tengah menyaksikan pertandingan basket, tentu saja: sendirian. Padahal yang lain bersatu dengan teman-temannya. Aku tidak tahu bagaimana, tetapi tiba-tiba bola oranye mendarat di kepalaku. Aku tidak tahu reaksi orang ramai di sekitarku karena aku sibuk memegang kepalaku yang terasa pusing dan sakit. Namun, tidak ada satu pun yang peduli. Tidak ada satu pun.

Ada salah satu teman yang menghampiri sambil tertawa-tawa bertanya, “Yup, lo enggak apa-apa?” aku menggeleng dan setelah itu dia pergi meninggalkan aku yang lupa rasanya malu. setelah itu pertandingan berlangsung seolah-olah aku adalah sampah yang terkena bola oranye. Kasihan, ya? Jauh berbeda dengan yang terjadi di novel-novel anak SMA. Maka aku berasumsi, tidak ada satu pun lelaki yang tertarik kepada aku. 

Jauh di lubuk hati, ada kekosongan yang menganga. Betapa ada kalanya aku ingin menjadi seperti teman-temanku yang punya kekasih dan sahabat. Ada kalanya aku ingin bisa bergaul dan paling tidak, menguasai satu bidang akademik. Namun, aku tidak bisa, aku merasa seperti sampah. Aku makin tidak layak untuk dicintai. Aku tidak layak mendapatkan kasih sayang. Aku tidak layak diperhatikan karena aku sampah. 

Maaf.

Aku memendam semuanya sendirian. Keluarga? Mereka sibuk dengan masalah mereka sendiri. Aku bahkan enggan pulang. Aku kadang menginap di rumah teman atau sesekali jika ada lomba aku menetap lebih dulu di sanggar sampai malam. Pulang-pulang naik angkot, tahu tidak, tindakan paling bodoh yang untungnya aku selamat?

Ketika malam hari, baru pulang dari sanggar (di sekolah). Turun di depan gang. Butuh beberapa menit jalan kaki untuk sampai ke rumah. Tiba-tiba ada seorang bapak-bapak menawarkan tumpangan motor. Bodohnya, si bodoh aku ini malah mau dan duduk di belakang. Untungnya aku diantar sampai depan rumah. Aku ingat betul dia sempat minta nomor telepon aku. Karena aku bodoh, ya, aku kasih.

Duh, Gusti.

Sumpah, aku bodoh banget, ya? Mahabaik Allah melindungi aku saat itu. 

Teman-Teman, ketika baca tulisan ini pasti ilfeel sama aku yang waktu itu. Namun, itulah yang terjadi. Saat pulang ke rumah pun, kosong dan berantakan. Atau, kalau ramai berarti sedang pada berkelahi. Wajar jika aku tidak betah di rumah. 

Teman-Teman, ketika itu aku bingung dan tidak tahu cara menjaga diri, saat itu tidak ada yang melindungiku. Aku betul-betul tidak tahu caranya berinteraksi dengan teman perempuan, apa lagi lelaki. Sampai detik ini, masih merasa tidak ada satu lelaki pun yang tertarik kepadaku. Sampai saat ini aku masih menyimpan kehampaan dan kekosongan yang begitu menyakitkan dalam hati aku. 

Setelah aku telisik. Aku sadar, penolakan pertama datang dari ayah, kemudian aku rutin ditolak lelaki yang aku sukai. Aku tidak tahu cara menjaga diri karena aku tidak pernah dilindungi. Aku tidak tahu caranya berinteraksi dengan lelaki karena ayah tidak pernah mengajarkan. Lantas, apa aku menyalahkan ayah atas kebodohan aku? Tidak. Sumpah, tidak. Saat beliau meninggal, aku menangis paling sesak daripada ditinggal ibu, padahal aku lebih sayang ibu. Saat ayah terimpit aku juga mencoba mengerti dan menerima keadaan. Aku sangat memaafkannya. 

Aku memang kehilangan cinta pertama aku secara peran dan juga raga pada akhirnya. Akan tetapi, dengan riuhnya badai pasti akan berhenti dan menyisakan puing-puing yang bisa diperbaiki. Begitu pun dengan sampah yang bisa didaur ulang kembali. Ayah memang tidak meninggalkan warisan, tetapi beliau meninggalkan sebuah pelajaran hidup yang sangat berharga dalam hidup aku. Saat ini setidaknya aku memilih untuk berubah dan meninggalkan kebodohan yang pernah aku alami di masa lalu. 

Dulu aku adalah anak remaja yang bodoh dan banyak melakukan kesalahan. Sekarang aku sedang mencoba untuk belajar dari kesalahan dan menghargai kehidupan. Dulu mungkin aku adalah si madesu alias masa depan suram. Akan tetapi, sekarang aku berhak punya mimpi dan punya masa depan yang cemerlang. Saat itu aku mungkin memang tidak pantas untuk dicintai, tetapi saat ini aku sedang belajar untuk mencintai diri sendiri sebelum orang lain mencintaiku. Dulu aku memang kehilangan kepercayaan diri aku, tetapi saat ini aku bersyukur karena aku menemukan potensi dan value dalam diri aku. Vina yang dulu dan sekarang mungkin masih sama, tetapi sekarang adalah Vina yang berusaha membuat hidupnya jauh lebih berharga. 

Setidaknya masa lalu menjadikan aku lebih menghargai masa sekarang dan masa depan. 

DALAM beberapa artikel, fatherless merupakan kondisi seorang anak yang tidak mendapatkan kehadiran ayah baik secara personal maupun fisik. Dapat dipacu oleh berbagi faktor: perceraian, ekonomi, sistem patriarki, dll. Sehingga dapat mengakibatkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak. Anak rentan mengalami kenakalan remaja, ketidakstabilan emosi, kehilangan identitas diri, tidak dapat bersosialisasi, tidak percaya diri, dll. 



Posting Komentar