“CUACANYA rindang, ya?” Begitu kata Abang ojek online tadi pagi. Semalam aku menginap di rumah temanku karena hujan deras tidak memungkinkan untuk pulang. Kalau aku memutuskan untuk tetap pulang, mungkin Aku tidak akan merasakan betapa rindangnya pagi hari di 14 April 2025. Matahari seakan-akan menjadi penghangat yang sejuk. Semilir angin begitu halus menyentuh kulit tanpa menyakiti. Perjalanan pulang tadi pagi rasanya menjadi awal hari yang begitu menyenangkan.
Aku senang karena di Senin pagi yang sejuk ini, seakan-akan menyapa hari pertama untuk usia ke-26 aku. Sebetulnya aku bukan tipe orang yang merayakan ulang tahun apa lagi membicarakan tentang ulang tahun. Biasanya yang sudah-sudah, 14 April sama saja seperti tanggal-tanggal lainnya. Tentu perbedaannya hanya pada usia yang menunjukkan penambahan—atau pengurangan, ya? Kalau kata Ibunya teman aku tadi pagi, “Itulah tandanya umur kita pendek.”
Konteksnya ketika kami sedang makan uduk bersama. Kami mengungkapkan perasaan ternyata lulus SMA itu sudah 9 tahun lalu, di 2016. Jujur, sampai detik ini aku merasa waktu berlalu begitu cepat. Masih tidak menyangka aku lulus SMA sudah berlalu 9 tahun. Sebuah rentang waktu yang tidak sedikit. Rentang waktu yang kalau tidak digunakan dengan baik akan sia-sia. Rentang waktu yang kalau kita manfaatkan dengan baik akan menjadi produktif.
Jangankan 9 tahun, bagaimana rentang waktu selama 26 tahun? Mulai dari lahir, berkembang, tumbuh dewasa, hingga saat ini. Di hari pertama usia ke-26 tahun, aku ingin napak tilas tentang apa saja yang sudah aku lakukan untuk hidup aku sendiri? Disclaimer, bukan melulu soal prestasi, melainkan sebuah perjalanan yang membuat aku bersyukur karena ada di titik sekarang.
Sebetulnya titik sekarang ini bukan sesuatu yang besar, tetapi cukup menjadikanku belajar bersyukur. Satu-satunya yang membuatku bangga dengan diriku sendiri adalah ungkapan aku ketika SMP. Ingat betul ketika kelas 9. Ketika itu sedang pelajaran bimbingan konseling. Bu Endang sebagai guru bertanya tentang cita-cita kami. Tiba giliran aku menjawab, “Aku ingin menjadi penulis.”
Padahal, ketika itu aku sama sekali tidak tahu tentang dunia kepenulisan. Kebetulan pada masa SMP cukup populer cerbung di Facebook yang sering aku baca. Jadi aku berpikir, menjadi penulis adalah pilihanku. Selang waktu berjalan, Aku merasa bahwa cita-cita hanyalah bualan anak kecil dan anak remaja yang belum tahu dunia orang dewasa. Begitu menyebalkan ketika tidak pernah ada yang memberitahu betapa sulitnya mengejar cita-cita.
Masa SMA atau ketika aku remaja menuju dewasa, menjadi masa-masa paling tersulit. Kehidupan sekolah, pertemanan, percintaan, hingga kehidupan di rumah. Seakan-akan tidak ada kehidupan yang benar-benar memberikan kenyamanan. 17 tahun terasa tidak ada manis-manisnya, malah pahit-pahitnya. Masa SMA yang seharusnya menjadi gerbang awal menemukan jati diri, entah mengapa aku menjadi pribadi yang begitu jauh.
Jujur, ya, kalau diingat-ingat masa lalu begitu memalukan. Namun, bila ditelisik ternyata masa lalu punya pesan dan makna untuk aku di masa kini. Sebuah pesan dan makna yang tidak akan pernah aku sadari jika di usia 20 awal aku tidak memilih untuk menemukan diri sendiri. Sebetulnya saat itu aku tidak secara sadar memilih untuk menemukan jati diri. Kala itu aku hanya mengikuti insting dan kemauanku untuk masuk komunitas dan kelas menulis.
Who knows? Pilihan dan kemauan itu ternyata tanpa aku sadari membawa dan menemukan aku pada jati diri. Tadinya aku tidak percaya diri, semenjak menulis aku jadi percaya diri. Tadinya aku tidak memikirkan masa depan, semenjak menulis aku lumayan memikirkan masa depan. Tadinya aku merasa tidak berharga dan tidak berguna, semenjak bergabung dalam komunitas literasi aku merasa punya value.
Menulis adalah perjalanan ajaib dalam hidup aku.
Masa lalu aku memang sangat tidak sempurna. Masa lalu adalah tempat aku banyak melakukan kesalahan dan kekalahan, menyisakan sebuah penyesalan yang begitu mendalam. Akan tetapi, penyesalan akan sia-sia tanpa adanya pembelajaran. Bukan berarti saat ini aku berhasil belajar dari kesalahan dan menjadi baik. Justru di usia 26 tahun ini, masih banyak tugas dari masa lalu yang perlu diselesaikan. Secara sadar aku merasa sudah berdamai. Namun, kita tidak pernah tahu bagaimana alam bawah sadar bekerja.
Jadi, Jika ditanya, “Hidup 26 tahun udah ngapain aja?”
Tidak banyak yang aku lakukan, tetapi dari sedikit-sedikit yang kulakukan sudah membuat aku bersyukur. Mungkin aku pernah merasa minder karena tidak bisa lanjut kuliah. Namun, duniaku penulisan telah memberikan aku kepercayaan diri dan value. Aku punya teman dan dia sarjana, dia cerita kepadaku karena merasa hidup begini-begini saja. Di sini aku memahami betapa mengenali diri adalah kunci untuk menentukan alur hidup yang bermakna.
26 tahun aku mungkin akan sia-sia, jika aku tidak mengenal diri sendiri. Bayangkan seorang perempuan tidak kuliah dan tidak tahu tentang dirinya. Mungkin ucapan temanku ketika SMA akan menjadi nyata, Mereka bilang aku adalah madesu (masa depan suram). O, iya, ini bukan tindakan bullying secara verbal, melainkan hanya sebuah candaan antarteman, ya, karena terkadang aku pun begitu terhadap teman aku sendiri. Dan, bukan berarti kuliah sama sekali tidak penting. Justru kalau kita kuliah dan mengenal diri sendiri, aku rasa dengan begitu kita jadi lebih tahu mau jadi apa.
Setidaknya di usia 26 tahun Aku sama sekali tidak merasakan “hidup begini-begini saja”. Ada beberapa hal yang sudah pernah aku lakukan dan coba sejauh ini. Mulai dari belajar menjadi penanggung jawab sebuah komunitas. Belajar mengoordinasikan sebuah program dari komunitas. Belajar bertanggung jawab terhadap tugas yang diemban. Belajar ngomong dengan cara bikin konten video di media sosial. Belajar percaya diri dengan menjadi MC dan moderator di event komunitas. Sebuah ajang coba-coba, tetapi membuat aku berkembang.
Memang semua itu aku tidak mendapatkan bayaran sepeser pun. Bukan berarti sebagai manusia aku tidak membutuhkan uang sama sekali, aku juga orangnya realistis, kok. Akan tetapi, jika untuk mengembangkan diri harus mendapatkan imbalan uang, aku rasa hal ini akan membuat kita makin sulit untuk berkembang. Kadang-kadang tidak ada salahnya untuk kita berpartisipasi terhadap sesuatu yang akan berpotensi terhadap diri kita di masa depan.
Aku beruntung karena sejauh usia 26 tahun ini aku bisa mencintai diri sendiri. Di usia usia selanjutnya, what next?
Banyak sekali mimpi-mimpi yang ingin aku kejar. Katanya mimpi tidak boleh diceritakan ke siapa pun. Jadi aku menyimpan semua rencana dan mimpiku dalam hati. Namun, yang pasti dalam waktu dekat aku punya mimpi yang perlu aku ceritakan. Aku ingin melihat dunia jauh lebih jelas dan terang. Aku ingin mengelilingi kota tempatku lahir dan besar. Aku ingin dapat melihat lingkungan sekitar dengan baik dan tajam. Aku ingin menuliskan dunia ketika untuk pertama kalinya aku bisa melihat tanpa bola hitam dan buram.
Untuk Teman-Teman yang membaca tulisan ini. Boleh, ya, aku meminta doa untuk pengobatan dan kesembuhan mata aku. Aku tidak tahu pasti kendala apa yang menyerang mata aku. Akan tetapi, sejauh ini sudah sangat-sangat mengganggu. Aku berharap dalam waktu dekat aku benar-benar bisa melihat dunia. 26 tahun, tidak ada kata terlambat untuk berobat. 26 tahun, tidak ada kata terlambat untuk mengejar cita-cita. Sebab, pengobatan mata menjadi gerbang awal untuk aku mendekap masa depan bersamaan dengan cita-citaku.
Halo, 26, well-come! Aku tidak akan berekspektasi apa pun tentang hari esok dan seterusnya. I just do my best.
Posting Komentar