KONFLIK dalam hidup itu wajar. Akan selalu ada pro dan kontra. Perbedaan pendapat yang melahirkan berbagai sudut pandang. Bahkan, sebuah kesalahpahaman dalam satu persoalan pun sering terjadi. Semuanya normal. Menjadi tidak normal, ketika kita menutup pintu maaf dan enggan untuk meminta maaf. Tidak lain, ada ego yang diberi makan. Ada emosi negatif yang dibiarkan singgah. Begitulah, manusia.
Beberapa tahun belakangan, bulan Ramadan selalu punya cerita. Bukan cerita manis seperti yang sudah-sudah. Daripada cerita manis, banyak sekali cerita yang berujung menyisakan tangis. Dulu aku percaya bahwa bulan Ramadan adalah momentum yang tepat untuk sebuah kebersamaan. Namun, beberapa tahun belakangan—tepatnya bulan puasa kali ini. Aku tidak berani berekspektasi apa pun. Aku menyerahkan seutuhnya kepada Tuhan mengatur alur.
Kadang-kadang ada kalanya aku berpikir dan bertanya-tanya. Sebetulnya apa yang terjadi akhir-akhir ini? Mengapa bisa terjadi? Apakah ada kesalahan-kesalahan di masa lalu yang akhirnya menjadi perseteruan berkepanjangan? Makin dipikir dan ditanya, aku makin merasa sesak. Betapa masa lalu menampilkan banyak sekali peristiwa tidak menyenangkan. Tentang badai yang memporak-porandakan. Tentang kenyataan yang menyayat hati. Tentang rumah yang tidak pernah memberikan ketenangan.
Tidak. Aku tidak sedang menyalahkan masa lalu, apa lagi meratapinya. Namun, masa lalu punya andil terhadap kejadian-kejadian yang terjadi sampai tulisan ini dibuat. Sekali lagi, aku tidak menyalahkan masa lalu. Justru, aku merasa, sepertinya kita yang tidak pernah bisa belajar dari masa lalu. Betapa ego yang tinggi menimbulkan perpecahan. Apakah kalian lupa kehancuran pertama kita dikarenakan oleh kepercayaan yang dikhianati? Dan apakah kalian lupa, betapa perlahan-lahan (meski butuh waktu lama) mau tidak mau menerima kenyataan?
Dari situ, bukankah kita semestinya menghargai sebuah kepercayaan? Dan bukankah kita seharusnya perlahan-lahan (meski butuh waktu lama) harus belajar untuk menerima? Kadang-kadang kita suka salah kaprah. Menganggap sebuah penerimaan adalah kekalahan. Padahal, tidak. Penerimaan membutuhkan hati yang begitu besar. Sementara kekalahan dipicu oleh ego yang begitu tinggi. Keduanya sama besar, tetapi memiliki konteks yang berbeda. Tinggal pilih, mau konteks yang baik atau sebaliknya?
Alasan Kita Susah Memaafkan Orang Lain
Sekarang begini. Coba kasih tahu aku, sebutin satu manusia yang dalam hidupnya tidak pernah melakukan kesalahan. Sementara aku masih meyakini, betapa manusia tidak pernah luput dari kesalahan. Akan tetapi, tolong dipahami, bukan berarti perspektif tersebut dijadikan alibi untuk Kita sebagai manusia bermudah-mudahan dalam berbuat kesalahan. Kesalahan terjadi karena ketidaktahuan kita atau ketidaksengajaan. Ya meskipun, di luar sana banyak dari kita yang dengan sengaja berbuat kesalahan.
Banyak hal. Banyak sekali hal-hal yang membuat kita susah memaafkan orang lain. Namun, di sini aku hanya akan menulis sesuai dengan apa yang aku alami dan rasakan. Bisa dibilang tulisan ini berangkat dari keresahan diri sendiri. Aku berharap tulisan ini bisa menjadi sebuah pelajaran berharga, minimal untuk diri aku sendiri di masa depan. Tulisan ini untuk orang-orang yang susah untuk meminta maaf dan enggan untuk memaafkan.
Lagian siapa, sih, yang bisa menerima orang lain yang sudah berbuat salah terhadap diri kita? Bahkan ketika memberikan perlakuan baik, tetapi dibalas dengan sebaliknya. Sering kali kita disakiti oleh sebuah balasan yang di luar harapan dan ekspektasi kita. Pantas kita merasa kecewa dan marah. Wajar jika kita tidak bisa menerima pada saat itu juga. Namun aku rasa kondisi ini tidak bisa dipertahankan begitu lama.
Waktu akan terus berjalan. Mungkin konflik yang tidak bisa kita maafkan itu bisa kita lupakan. Namun, bukan berarti konflik itu akan menghilang. Dia akan tetap ada dan menjadi bumerang suatu hari nanti. Kita tidak pernah tahu bentuk bumerangnya seperti apa. Akan tetapi, ketidakterimaan terhadap konflik yang terjadi dalam diri kita adalah sampah yang kian membusuk.
Aku memahami betapa susah dan tidak mudah untuk memaafkan orang lain. Kita ingin orang itu terlebih dahulu yang mengajukan diri untuk meminta maaf. Kita tidak terima, artinya kita sedang memberi makan ego. Ada sebuah pemahaman yang terdengar masuk akal, padahal konteksnya sangat kontroversial. Kamu pasti pernah dengar begini, “Enak aja, dia yang salah harusnya dia yang minta maaf! Kalau kita duluan yang maafin dia, yang ada dia enggak tahu diri dan malah seenaknya sama kita!”
Masuk akal, kok, pernyataannya. Secara logika, memang pada dasarnya ketika kita berbuat salah artinya kita punya kewajiban untuk meminta maaf. Namun, ketika ada orang lain yang berbuat salah dan merasa dirinya tidak bersalah. Aku rasa kita tetap punya keharusan untuk berbesar hati memaafkannya. Kalau kata Ustaz Adi Hidayat, memaafkan bukan berarti menggugurkan dosa orang yang bersalah tersebut. Akan tetapi, memaafkan berarti menghilangkan sekat antara kita dan dirinya.
Paham, tidak? Maksudnya adalah dengan memaafkan artinya kita tetap menjaga tali silaturahmi. Betapa Allah memerintahkan kita untuk menjaga dan menyatukan tali silaturahmi. Apa lagi sesama muslim, apa lagi sesama keluarga. Dengan memaafkan, memberikan sebuah ketenangan. Dengan memaafkan, menghindarkan kita dari sikap menghina dan menggunjing orang lain. Iya, kan?
Kebiasaan ketika kita masih marah terhadap orang yang berbuat salah pada diri kita. Kita sibuk bercerita dengan teman atau keluarga untuk menghina atau menjelek-jelekkan orang yang berbuat salah kepada kita tersebut. Padahal tindakan tersebut hanya membuat kita tambah dosa. Seharusnya, jika kita tidak bisa memaafkan orang lain, minimal diam. Kita yang tadinya tidak melakukan sebuah kesalahan, dengan menghina justru kita sedang melakukan kesalahan. Lantas apa bedanya kita dengan dia yang berbuat salah?
Tolong cepat sadar. Alasan kita susah memaafkan orang lain. Bisa jadi kita masih membiarkan emosi negatif singgah dalam hati kita. Kita masih mengingat-ingat kesalahan orang lain dalam kepala kita. Tolong cepat sadar dan mulai mengevaluasi. Evaluasi diri, apakah keadaan ini akan membuat segalanya baik-baik saja? Apakah kondisi seperti ini akan membuat kehidupan kita jauh lebih tenang dan damai? Tidak, nyatanya kita dihantui oleh perasaan marah dan kecewa.
Banyak dari kita tidak menyadari kekecewaan berangkat karena kita sendiri yang terlalu berharap dan berekspektasi kepada orang lain. Memang tidak ada yang salah dengan itu. Akan tetapi, yang namanya manusia tidak selamanya bisa memenuhi harapan dan ekspektasi kita. Setiap orang punya perspektif dan pengalaman hidup yang berbeda. Maka salah rasanya ketika kita memberikan harapan dan ekspektasi yang begitu tinggi kepada manusia. Dan wajar jika kita kecewa karena salah meletakkan harapan dan ekspektasi.
Jadi, Kapan kamu mau memaafkan orang lain?
Belajar Memaafkan Orang Lain
Sebagai manusia, kita mengamini bahwa manusia enggak luput dari kesalahan. Tapi, sebagai manusia, kita juga lupa untuk belajar memaafkan.
Bulan Ramadan kali ini mengajarkan aku untuk belajar memaafkan orang lain. Sebetulnya orang lain di sini tidak betul-betul orang lain. Namun, orang lain di sini adalah seseorang yang sangat penting dalam hidup aku. Dari dulu sudah berkali-kali aku berikan sebuah kepercayaan. Dari dulu aku selalu menjadi orang yang mencoba untuk memahami dan mengerti posisi dia. Dari dulu aku yang selalu membela dia ketika dia melakukan kesalahan.
Sampai puncaknya, ketika terakhir kali aku memberikan kepercayaan. Sebetulnya di sini aku juga salah karena terlalu berharap dia akan berubah. Kenyataannya? Lagi, lagi-lagi dia mematahkan dan memberikan kekecewaan yang begitu dalam. Aku menyadari, mungkin apa yang terjadi di masa lalu membentuk dia seperti sosok yang sekarang. Akan tetapi, dia harusnya sudah dewasa, dia harusnya punya pilihan untuk berubah atau tetap menjadi sosok yang dibentuk oleh masa lalu. Aku menyadari, dia masih belum bisa menghargai sebuah kepercayaan. Dia salah.
Saat ini aku sedang dalam titik merasa bingung. Di satu sisi aku merasa marah dan kecewa. Di sisi lain, aku merasa iba dan dilema. Sekarang aku coba ajukan pertanyaan kepadamu, “Sebatas mana kita bisa membantu dan memberikan pertolongan kepada saudara kita? Sejauh mana kita harus memberi kecukupan finansial kepada saudara kita?”
Permasalahannya adalah, aku khawatir, makin dibantu makin ketergantungan. Makin ditolong, makin merasa hidup aman. Padahal dia harus berdiri di kaki sendiri, tidak bisa berpijak di atas kaki orang lain selamanya. Bukankah kita punya batasan kemampuan yang tidak bisa sepenuhnya membantu orang lain? Kadang-kadang aku berpikir, sesama saudara punya kewajiban saling menolong. Akan tetapi, bagaimana jika yang ditolong tidak berubah?
Dilema, ya?
Hanya saja. Perlahan-lahan aku belajar memaafkannya. Namun, aku berhenti untuk membantunya secara finansial. Aku berhenti untuk memberikannya sebuah kepercayaan. Aku memaafkan karena aku menganggap tidak layak sesama saudara saling bersitegang. Meskipun jauh di lubuk hati, ada kasih sayang yang sulit untuk diungkapkan. Aku hanya berhenti untuk berharap apa pun.
Dalam waktu yang bersamaan pun masih terjadi perseteruan-dingin yang terjadi dalam satu ikatan tali yang sama. Kali ini tali itu kusut, hampir putus—arau sudah putus, ya? Yang jelas, kenyataan ini membuat aku sedih. Yang satu tidak mau memaafkan, yang satu tidak mau introspeksi diri. Masing-masing memilih membentengi diri dengan ego yang begitu tinggi. What should I do? Serbasalah. Berasa sekali, imbasnya bukan hanya kepada mereka, tetapi juga orang di sekitar mereka.
Momen bulan Ramadan dan Idulfitri seharusnya menjadi ajang silaturahmi, saling memaafkan. Namun, beberapa tahun belakang momen tersebut seakan-akan tidak memiliki makna. Tidak lengkap. Entahlah. Aku tidak mau berharap apa pun. Aku hanya berdoa semoga tali yang putus itu perlahan-lahan menyatu kembali.
Semua orang melakukan kesalahan. Aku, kamu, orang lain pasti pernah melakukannya. Kesalahan ada untuk dipelajari. Ya, meskipun aku sendiri kadang masih susah belajar dari kesalahan. Akan tetapi, dari situ manusia berkembang dan tumbuh. Sekarang begini, ketika kita paham konsep bahwa semua orang melakukan kesalahan—termasuk diri sendiri. Tidakkah kita mau belajar memaafkan orang lain, seperti kita yang Memaafkan diri sendiri?
Posting Komentar