TINGGAL di Indonesia memang banyak tantangan batinnya. Dari berbagai aspek, kadang suka ada saja yang bikin kena mental. Terutama dari stigma masyarakat yang entah terlalu care atau kepo saja biar ada bahan obrolan (re: gibahan) waktu beli sayur. Aku bisa bilang kalau jadi penduduk Indonesia harus tahan banting!
Indonesia kaya akan budaya yang melekat dan harum, kita pun harus berbangga dan melestarikannya. Namun, ada satu “budaya” yang aku rasa perlu dikritisi, bila perlu diluruskan. Sebuah “budaya” yang tertanam dalam stigma masyarakat: pertanyaan “Kapan nikah?” atau “Kok belum nikah, sih?”
Hampir semua orang yang belum menikah, pasti pernah mendapat pertanyaan basi tersebut. Beruntungnya aku adalah orang yang hampir tidak pernah mendapatkan pertanyaan menyebalkan tersebut, hanya satu kali. Berbeda dengan temanku, dia sampai stres karena pertanyaan itu dilontarkan berulang-ulang.
Aku berbicara bukan sebagai orang yang kesal karena cape ditanyain “Kapan nikah?”, melainkan aku bicara sebagai orang yang kesal dan geram ketika pertanyaan “Kapan nika?” dinormalisasi dan menjadi tekanan untuk orang lain. Bisa dibedakan, ya? Oleh karena itu, rilislah tulisan ini sebagai bentuk keresahanku terhadap pertanyaan, “Kapan nikah?”.
Manusia Memang Harus Menikah
Yup, pertama-tama aku mau mengamini lebih dulu betapa kita harus menyegerakan untuk menikah. Aku merupakan orang yang setuju mempersiapkan diri untuk segera menikah dan harus punya target. Aku pun tidak begitu ambil pusing dengan orang-orang yang memilih hidup independen tanpa pasangan dalam hidupnya. Mereka pasti punya alasan.
Pernikahan merupakan ibadah yang dianjurkan karena dapat menyempurnakan separuh agama. Pernikahan menjadikan antara perempuan dan laki-laki berkontribusi terhadap peradaban dunia. Dengan kata lain, menghindar diri dari zina. Iya, iya, pernikahan bukan haknya soal menghindari dari zina, melainkan jauh lebih kompleks dari itu. Menikah berarti kita siap mengarungi fase baru dalam kehidupan.
Aku memahami mengapa kita harus disegerakan untuk menikah. Salah satunya adalah usia 20-an menjadi usia yang efektif untuk melahirkan keturunan. Dilansir dari Alodokter, bahwa wanita pada usia 20-an lebih memiliki peluang keberhasilan yang besar untuk memiliki anak. Sebab, usia segitu merupakan usia produktif dan masih dalam kesuburan yang tinggi.
Masih dalam lansiran Alodokter, memang, usia 30-an kesuburan akan mengalami penurunan meskipun tidak drastis. Sehingga, hal ini membuatnya agak sedikit sulit untuk memiliki anak ditambah memiliki risiko lainnya. Namun, ditambahkan, pula hamil di usia 30-an pun memiliki dampak positif seperti lebih siap dan matang.
Aku berpendapat bahwa, usia berapa pun kita masih bisa tetap memiliki anak, kok. Meskipun dengan segala risiko dan konsekuensinya. Akan tetapi, sebagai orangtua muda dan orangtua yang sudah dewasa, harus sama-sama punya bekal dan pengetahuan terkait parenting. Mau menikah muda atau menikah usia dewasa, keduanya harus sama-sama punya kesiapan diri menghadapi berbagai rintangan.
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 memang menyatakan bahwa syarat seseorang bisa menikah adalah minimal 19 tahun. Akan tetapi, realitasnya usia tidak menentukan kedewasaan seseorang dalam menghadapi pernikahan. Kita memang perlu segera untuk menikah, tetapi bukan berarti kita tidak menyiapkan diri sama sekali.
Kapan Nikah: Sebuah Proses yang Tidak Mudah
Aku berharap tulisan ini sampai ke seluruh masyarakat Indonesia yang ramah dan budiman. Kadang heran, kebanyakan pertanyaan “Kapan nikah?” ini keluar dari mulut seseorang yang bahkan sudah menikah. Justru, karena dia sudah menikah, harusnya mengerti betapa tidak mudahnya proses menuju pernikahan itu sendiri, kan?
Iya, tidak ada proses yang tidak mudah. Akan tetapi, harusnya jangan jadikan pertanyaan tersebut sebagai basa-basi yang pada akhirnya memberi tekanan kepada orang lain. Kita tidak pernah tahu badai apa yang sedang menerjang hidupnya. Kita tidak bisa menilai seseorang dari kelihatannya saja. Tampaknya memang bahagia, tetapi bagaimana jika dia menyembunyikan bongkahan besar di baliknya?
Bayangkan ketika bertanya “Kapan nikah?” kepada orang yang ekonominya sedang jatuh atau masalah keluarga yang kompleks. Bayangkan ketika bertanya “Kapan nikah?” kepada orang yang masih memiliki trauma dan kesehatan mental yang kurang baik. Bayangkan sambil menanamkan empati. Rasakan jika kita berada di posisi yang ditanyakan. Percaya sama aku, itu bukan hal yang mudah.
Sementara pernikahan sendiri punya proses yang panjang dan tidak mudah. Mulai dari kesiapan finansial, mental, dan bekal. Sebab, hidup setelah menikah adalah perjalanan baru. Di sini aku akan membagikan beberapa hal penting yang perlu kita ketahui sebelum menikah. Disclaimer, ya, aku pun belum menikah. Tulisan ini berangkat dari pengalaman orang sekitar dan riset dari bacaan artikel/buku.
Persiapan sebelum Menikah
Banyak sekali yang harus dipersiapkan. Mulai dari finansial, mental, hingga bekal. Persiapan di sini bukan hanya berkutat pada hari pernikahan yang hanya terjadi satu hari, melainkan persiapan kehidupan setelah menikah yang akan terjadi selamanya.
Finansial
Salah satu “budaya” atau kebiasaan di Indonesia adalah mengadakan pesta meriah dan mengundang banyak orang untuk acara pernikahan. Aku pribadi tidak masalah, selama kita menang mampu dan siap dananya. Asalkan, anggaran finansial setelah menikah sudah dipersiapkan lebih dulu. Artinya, jangan sampai setelah berbahagia di pesta pernikahan yang mewah, setelahnya malah pusing mikirin bayar utangnya. Kehidupan baru masa sudah dibuka dengan hal yang memusingkan?
Memang Allah pasti sudah menyiapkan rezeki kita untuk menikah, kok. Akan tetapi, kita tetap harus berusaha. Lagi pula ada opsi lain, seperti menikah di KUA. Tidak perlu gengsi, beneran, deh. Mending uangnya dialokasikan untuk anggaran dalam rumah tangga—akan jauh lebih efektif. Jika perlu, adakan acara syukuran atau makan-makan di rumah setelah dari KUA.
Kesakralan pernikahan tidak dinilai seberapa mewah pestanya, melainkan Seberapa dalam niat kita menyempurnakan ibadah. Sekali lagi, tidak ada masalah pesta mewah atau sederhana, selama tidak menyulitkan kita. Yang terpenting adalah kita perlu memikirkan pengaturan finansial setelah menikah nanti, terkait biaya prioritas, tabungan, dan lainnya.
Mental & Fisik
Pernikahan merupakan fase yang kompleks. Sehingga perlu persiapan yang matang. Kebanyakan orang hanya mempersiapkan pernikahan dari lahirnya saja, padahal batin pun perlu. Tidak salah memang jika kita mengharapkan bahagia dalam pernikahan. Namun, tidak ada kebahagiaan yang hakiki sebelum adanya masalah. Sementara, masalah merupakan hal abstrak yang hanya bisa dihadapi dengan mental kuat.
Pasti kamu pernah dengar istilah “selesaikan diri sendiri dulu baru menikah”. Yup, aku setuju dengan kalimat tersebut. Ketika kita masih punya trauma dan ketakutan masa lalu. Ketika kita masih dalam sebuah masalah yang belum selesai atau bahkan buntu. Dan, pernikahan tidak selamanya bisa dijadikan solusi untuk keluar dari masalah yang belum selesai.
Pernikahan itu, kan, sebuah fase baru kehidupan. Jika kita belum selesai dan memaksakan diri menikah, bukankah sama saja dengan membawa masalah (yang belum selesai) ke kehidupan baru? Sementara pernikahan akan memiliki “tantangan” tersendiri. Namun, hal ini pada akhirnya balik lagi didiskusikan dengan calon pasangan kita. Apakah dia bisa menerima diri kita yang belum selesai? Artinya, kita pun harus siap untuk menghadapi tantangan dari fase hidup sebelumnya dan setelahnya.
Tidak ada salahnya untuk pergi ke psikolog. Melakukan konseling dengan calon pasangan. Kira-kira apakah kita dan calon pasangan siap untuk menikah? Dengan begitu, akan jelas terkait tahap selanjutnya. O, iya, jangan kesampingkan kondisi fisik, ya. Lakukan juga beberapa tes kesehatan supaya bisa antisipasi.
Bekal
Finansial dan mental, kurang lengkap tanpa didasari bekal. Adanya bekal menjadi petunjuk dan panduan menjalani kehidupan pernikahan. Bekal terkait edukasi dan pengetahuan baik pranikah-pascanikah. Bagaimana cara menjadi pasangan yang baik, bagaimana cara menjadi orangtua yang baik, bagaimana cara menghadapi masalah, bagaimana mengatur finansial dan meregulasi emosi, dll.
Semuanya perlu dipelajari dan dipahami. Namun, yang paling penting adalah membangun rumah tangga dengan landasan agama yang kokoh. Tentunya Islam sudah mengatur semuanya, baik laki-laki maupun perempuan memiliki porsinya. Tinggal bagaimana kita menerapkannya. Hal ini harus diimbangi dengan calon pasangan yang sesuai (ini nanti akan dibahas).
Bekal ini memang dipersiapkan sebelum menikah. Namun, tidak lantas kita berhenti belajar. Faktanya, pernikahan isinya pelajaran seumur hidup. Bahkan dalam pernikahan sendiri punya fasenya masing-masing. Dan, setiap fase akan memiliki pembelajaran baru. Setiap pasangan punya cara sendiri dalam mempelajarinya.
Bekal ini dapat kita kumpulkan dengan mengikuti seminar/webinar pranikah, banyak bertanya kepada orang berpengalaman yang tepat, dan yang paling penting adalah banyak membaca. Sehingga kita dapat menyerap ilmu dari berbagai sumber yang dapat kita ikuti sesuai dengan kebutuhan kita. Jangan lupa juga untuk selalu memantaskan dan memperbaiki diri, ya!
Marriage Is About Two Lovebirds
“Buruan nikah, biar jarak usia sama anak enggak kejauhan. Nanti jadi perawan tua, lo!”
Menikah adalah tentang dua sejoli, bukan tentang kita sendiri, si pasangan, atau bahkan orang lain. Pernikahan adalah dua orang yang bersatu berlayar menaiki bahtera rumah tangga. Oleh karena itu, kita harus menikah karena dorongan dari sendiri, bukan dari orang lain. Kits harus menikah dengan orang yang tepat, bukan dengan orang yang asal dapat. Pilihlah seseorang yang sesuai dengan kebutuhan kita dan kita pun sesuai dengan kebutuhannya
Abaikan omongan orang yang menganggap kita sudah ketuaan karena belum menikah. Redam suara orang lain yang sok khawatir karena takut kita menjadi perawan tua. Tahu apa mereka soal hidup kita? Memangnya mereka mau kontribusi apa terhadap pernikahan kita? Pertanyaan “Kapan nikah?” tidak akan pernah ada habisnya. Itu hanya permulaan, setelah menikah, akan ada lagi.
Jangan jadikan omongan orang lain sebagai dorongan atau acuan untuk segera menikah. Namun, jika dijadikan pertimbangan atau pembelajaran, tidak masalah. Jangan sampai kita salah memilih pasangan hanya karena tekanan dari omongan orang lain. Kita menikah, kita yang jalanin, bukan mereka. Aku tahu ini tidak mudah, tetapi itu lebih baik daripada kita makin tertekan karena memilih pasangan yang salah.
Fokuskan pernikahan hanya pada diri kita dan pasangan (yang tepat). Diskusikan segala persiapan sebelum menikah. Tentukan sebuah tujuan dan prinsip, bangun visi misi yang akan diemban bersama. Lakukan dan lalui semuanya berdua, kesampingkan ego. Komunikasi adalah segalanya, tetapi komunikasi tanpa adanya respect akan gagal.
Posting Komentar