Preview

Hai, selamat datang di Neng Vina! Di blog ini kamu akan menemukan tulisan seputar kehidupan dan pengembangan diri. Barang kali kamu tidak akan merasa sendirian setelah membaca tulisanku. Enjoy my blog! 🧁

Menyikapi Masalah Hidup

HIDUP aku memang tidak sempurna—aku meyakini tidak ada kehidupan yang betul-betul sempurna. Dalam diri manusia memang tidak memiliki ruang untuk menyimpan masalah. Namun, manusia begitu ajaib karena mampu menyembunyikan masalah tanpa ada yang tahu, bahkan menyadarinya. Mungkin beberapa manusia tampak tersenyum semringah, selalu berbinar menyapa dunia. Pernahkah kamu menyelami isi hatinya?

Terkadang aku juga ingin menunjukkan pada dunia, mengabarkan bahwa aku pun punya masalah. Kalau dipikir-pikir, apa tujuannya? Masalah aku, ya, milik aku. Mungkin orang lain akan mempelajarinya. Namun, bagaimana orang bisa mempelajari masalahku, sementara aku tidak mempelajari masalahku sendiri?

Selama dua puluh lima tahun, jujur aku tidak pernah merasa kesulitan dengan masalah. Entah karena aku tidak tahu, tidak sadar, atau tidak peduli. Namun, yang pasti aku menyadari keberadaan masalah di masa lalu itu sejak mulai menulis (2019). Baru aku sadari, betapa masa itu bukanlah masa yang mudah. Mendapatkan diri masih berpijak di kehidupan—bahkan memiliki impian sampai saat ini. Ternyata aku tidak begitu lemah.

Dari penyadaran aku secara penuh tentang masalah, aku memahami. Betapa kehidupan tidak akan pernah lepas dari masalah. Justru, hidup tidak sempurna tanpa adanya masalah.

Menyikapi Masalah Hidup: Mengapa Harus Ada Masalah?

Menyikapi masalah
Tumbuh. Manusia tidak hanya tumbuh secara fisik. Jangan lupa bahwa manusia juga punya mental dan emosional (pikiran dan perasaan). Fisik baik membutuhkan asupan nutrisi sehat. Begitu pula mental dan emosional, perlu nutrisi berkualitas. 

Jangan pernah mencari asupan kehidupan dari pintu kebahagiaan. Bukan tidak boleh, melainkan kebahagiaan merupakan pintu terakhir setelah melalui pintu lainnya: masalah. Kebahagiaan tanpa melalui berbagai rintangan rasanya hambar. Kebahagiaan akan jauh lebih bermakna ketika kita telah menghadapi berbagai masalah.

Setiap manusia memiliki porsi masalah sesuai dengan kemampuannya. Kita mungkin bisa lari dan menghindari masalah. Namun, masalah tidak akan pernah raib, barangkali ia berkembang biak. Masalah memang menakutkan, tetapi kita pun telah dibekali kemampuan untuk menghadapinya. Daripada menyia-nyiakan, bukankah kita harus memanfaatkan bekal tersebut?

Dilansir dari Satu Persen, self efficacy pertama kali dicetuskan oleh Albert Bandura yang bermakna kemampuan kita dalam mencapai sesuatu. Tinggi atau rendahnya efikasi diri kita tergantung dengan masalah yang sudah terjadi di masa lalu kita. 

Greatmind juga menjelaskan bahwa diri kita saat ini berasal dari bagasi masa lalu. Maksud analogi bagasi adalah beban atau pengalaman. Artinya, apa-apa yang terjadi di masa lalu akan menentukan aksi reaksi atau sikap kita saat ini.

Kemampuan kita dalam menghadapi masalah ditentukan oleh peristiwa di masa lalu. Bagaimana proses pertumbuhan dari anak-anak ke remaja hingga dewasa? Apakah penuh kehangatan atau kekelaman? Pun akan menentukan sikap kita dalam mencapai keinginan atau target. Dalam mencapai sesuatu, akan ada rintangan yang mesti dilalui. Namun, perlu kesadaran penuh untuk menyikapi masalah hidup dengan bijak.

Meregulasi Emosi

mengendalikan emosi
Dilansir dari situs Universitas Gadjah Mada, psikolog UGM, Sutarimah Ampuni, S.Psi., M.Si., MPsych., Psikolog., menyampaikan pentingnya bagi setiap orang untuk belajar mengelola atau meregulasi emosi agar bisa terekspresikan secara wajar dan sehat. Mengekspresikan emosi dengan pas sehingga tidak menimbulkan efek buruk bagi diri sendiri dan orang lain.

Emosi negatif merupakan respons otomatis kita ketika masalah datang pertama kali. Namun, kita tetap dapat mengendalikannya. Masalah dalam hidup akan memancing pergerakan emosi kita. Emosi di sini tidak melulu perasaan marah (baca artikel jenis emosi). Perasaan sedih, marah, dan takut merupakan emosi negatif yang harus diregulasi agar masalah tidak makin berat dan bisa dihadapi.

Menyikapi masalah hidup, l kita harus aware terhadap situasinya. Misal, sedang berselisih dengan teman. Akan ada potensi untuk bertengkar. Sebelum meluapkan kemarahan, sebaiknya kenali lebih dulu duduk masalahnya. Apakah ada kesalahan murni atau hanya kesalahpahaman? Biasanya, masalah terjadi karena kesalahpahaman dan banyak yang mudah terpancing, akhirnya meledak: marah-marah.

Berilah jarak sebelum mengekspresikan emosi. Ketika masalah sedang terjadi, sebaiknya mencari tempat sepi atau menghindar. Bukan menghindar dari masalah, ya, melainkan beri waktu emosi untuk memenangkan dan merenungkan diri. Sehingga saat akan mendiskusikan masalah, amarah dapat terarah dan tidak merugikan pihak lain—dan diri sendiri.

Kebanyakan orang menyesali amarahnya karena sedang di luar kendali. Dalam meregulasi emosi saat menghadapi masalah pun dapat dialihkan dengan mengonsumsi tayangan atau audio yang menyenangkan. Setidaknya dapat meredam emosi-emosi. Sebab, kita harus menyikapi masalah hidup dengan pikiran jernih dan perasaan yang tenang.

Mempelajari Kehidupan

Mempelajari kehidupan
Belajar itu tidak hanya di sekolah maupun di kampus. Asal kita aware dan jeli, dalam setiap langkah dan harapan napas, akan selalu ada pelajaran yang bisa diambil. Aku selalu menganalogikan kehidupan sebagai sekolah. Pelajaran-pelajaran yang ada di sekolah kehidupan adalah masalah. Tentu pelajaran dalam sekolah kehidupan lebih banyak dan tidak semua murid (manusia) akan merasakan seluruh masalah..

Jenjang sekolah dimulai dari TK, SD, SMP, SMA, hingga Universitas. Sementara sekola kehidupan dimulai dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa, hingga orangtua. Sekolah biasa memiliki durasinya tersendiri mulai dari enam tahun (SD), tiga tahun (SMP & SMA), dan minimal empat tahun (Universitas). Sementara, sekolah kehidupan durasinya seumur hidup. Setiap fase kehidupan akan selalu ada pelajaran (masalah) yang berbeda.

Kehidupan mendidik kita dengan menghadirkan masalah. Merasakan, menghadapi, dan menyelesaikan. Kehidupan memang tidak akan memberikan apresiasi berupa gelar ataupun ijazah. Akan tetapi, kehidupan telah memberikan kita kekuatan dan kebijaksanaan dalam menjalani hidup—dan ini amat berharga. Masalah tersebut kemudian akan berubah menjadi pengalaman. Tidak hanya dari diri sendiri, kita juga perlu belajar dari pengalaman orang lain.

Mengingat setiap orang punya pengalaman yang berbeda. Kemampuan dalam menghadapi masalah pun akan berbeda. Belajar dari pengalaman tidak hanya membuat kita kuat, tetapi mengajarkan kita untuk berempati dan menghargai (baik diri sendiri maupun orang lain). Bisa dikatakan pengalaman adalah proses kita belajar menjadi manusia yang manusiawi. Jadi, selama kita masih menjadi murid dalam sekolah kehidupan, gunakan kesempatan belajar dengan sebaik-baiknya.

Menerima Adanya Masalah 

Menerima adanya masalah
Menyikapi masalah hidup tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi—negatifnya. Tidak adil rasanya jika masalah selalu disebut-sebut biang kerok atas sulitnya kehidupan. Kehidupan tidak akan pernah bisa lepas dari masalah, artinya kita hidup berdampingan dengan masalah. Masalah juga memiliki sisi positif, Tuhan tidak akan pernah menciptakan sesuatu jika tidak bermanfaat, kan? Dan sebagai manusia kita perlu memandang masalah dengan baik.

Agar dapat menemukan sisi positif dari masalah, lebih dulu kita harus menerima adanya masalah. Lakukan validasi atas masalah yang membebani diri kita. Sadari bentuk masalah dan emosi yang hadir. Setelah menerimanya, akan lebih mudah menelisik hal positif dari masalah. Namun, tidak semua orang dapat menerima masalah. Jangankan menerima, ketika masalah fatang pun lantas denial, menolak dengan emosi yang tidak terarah.

Menerima memang butuh membuang ego, ikhlas pun demikian. Banyak orang yang meminta untuk bersabar dan mengikhlaskan diri ketika ada masalah. Kadang rasanya ingin marah karena tidak ada yang mengerti betapa sulitnya menerima dan menghadapi kenyataan pahit. Makna ikhlas memang tidak dapat diukur dengan apa pun. Akan tetapi, bukankau Tuhan pun mengabarkan pada manusia untuk ikhlas dan bersabar dalam menghadapi ujian-Nya? Itu artinya Tuhan pun memberikan ruang ikhlas dan sabar dalam diri kita, kan? Tinggal bagaimana kita memanfaatkannya.

Bukan berarti kita tidak boleh marah, sedih, bahkan menangis. Sangat boleh, kok, tetapi harus diatur porsinya. Terlalu lama terpuruk tidak akan membuat kita keluar dari masalah. Memang tidak semua masalah memiliki penyelesaian. Namun, apa pun masalahnya, kita punya pilihan untuk merangkulnya dalam menjalani hidup. Berdamai dengan masalah, percaya atau tidak, akan membuat kebahagiaan jauh lebih bermakna. 


Referensi:
  • Tips Agar Selalu Siap Menghadapi Masalah (Apa Itu Self Efficacy?) - https://youtu.be/qRi9drHS09A?si=YmqBsUDQAOmhVKqc
  • Menerima Masalah Dalam Hidup, Greatmind - https://greatmind.id/article/menerima-masalah-dalam-hidup
  • Psikolog UGM Bagi Tips Mengelola Emosi, Universitas Gadjah Mada - https://ugm.ac.id/id/berita/22446-psikolog-ugm-bagi-tips-mengelola-emos

Posting Komentar