BELAKANGAN sedang aware dengan harapan dan ekspektasi. Sebetulnya sudah dari lama mengalami kekecewaan karena terlalu berharap dan berekspresi. Dari berbagai aspek kehidupan: pertemanan, percintaan, dan produktivitas. Sampai pernah ada di satu fase paling cape, hati membatin, “Gue berhak bahagia enggak, sih?”
Sebetulnya sudah muak dan tidak tahan untuk kembali berharap, berekspektasi. Namun, aku tidak mengerti sampai saat ini selalu ada saja harapan baru dan parameter ekspektasi timbul. Aku pribadi masih sulit untuk menghentikannya, tetapi berusaha meminimalisir. Kadang berpikir bisa tidak, ya, kita hidup tanpa harapan dan ekspektasi?
Jauh di lubuk hati, aku memiliki keinginan untuk hidup yang lebih baik. Akan tetapi, harapan dan ekspektasi yang muncul, akan selalu berakhir kecewa. Seseorang yang perlahan-lahan pergi menjauh, teman dan keluarga yang sering kali mematahkan ekspektasi. Mungkin sudah saatnya berhenti berorientasi kepada orang lain. Saking sibuknya, melupakan ada diri sendiri yang perlu diperhatikan.
Menjadi egois? Tidak, kok. Aku hanya ingin menghindari diri dari perasaan-perasaan sakit yang datang. Aku juga tidak menyalahkan orang lain atas kekecewaan yang kualami. Ekspektasi adalah milikku dan di bawah kendaliku. Bukan mau menyalahkan diri sendiri, melainkan memang ada yang perlu dibenahi dari diri aku sendiri.
Bukannya mau menghindar dari rasa sakit dan patah. Aku tahu mereka adalah alasan aku berkembang dan tumbuh. Bukannya menyerah dengan keadaan, aku punya impian, kok. Hanya saja, aku tidak ingin lagi menempatkan harapan dan ekspektasi pada manusia. Tidak, aku tidak mau. Daripada menyerah, aku memilih berserah. Aku hanya akan memperjuangkan diri aku sendiri saja—karena hanya aku yang mau berjuang dan berusaha untuk diri aku sendiri.
Manajemen Ekspektasi yang Kita Lupakan
Meski sering dikaitkan dalam satu kalimat yang sama, ekspektasi dan harapan tetap berbeda. Memang, keduanya merujuk pada suatu keinginan yang diharapkan bisa terjadi di masa depan. Namun, baik harapan dan ekspektasi memiliki sisi yang saling bersinggungan. Tentunya di sini kita tidak akan terpaku pada pengertian menurut KBBI. Mari kita telisik lebih dalam dan realistis lagi.
Dilansir Emotional ICU, ekspektasi adalah keyakinan yang kuat bahwa segala sesuatunya akan atau seharusnya berjalan dengan cara tertentu, dan keterikatan pada hasilnya. Harapan adalah keinginan untuk sebuah hasil, keinginan dengan ketidakpastian tentang apa yang sebenarnya akan terjadi. Kita berpegang teguh pada ekspektasi, dan berpegang erat pada harapan.
Mengutip opini dari Claudia Angelina dari akun Medium-nya, “Menurut saya, expectation itu bersifat memaksa dan berpusat kepada diri sendiri, sehingga ketika apa yang sudah kita ekspektasikan itu tidak terjadi kita akan cenderung marah dan kecewa berat, malah bisa stres. Ekspektasi juga biasanya bersifat jangka pendek, lebih demanding harus sesuai dengan yang diinginkan. Sedangkan, hope atau harapan adalah sesuatu yang lebih fleksibel, jangka panjang, tidak demanding, tidak egois tapi lebih mementingkan keharmonisan atau kepentingan orang lain.”
Pada dua pengertian di atas, baik ekspektasi dan juga harapan memiliki perbedaan pada sifat dan keterikatan hasilnya. Jika ekspektasi bersifat lebih menuntut, sementara harapan lebih let it flow. Jika ekspektasi sangat mengharapkan keinginannya harus terjadi dan sesuai, sementara harapan lebih mengharapkan sesuatu yang—terkadang—tidak mungkin terjadi sehingga tidak terlalu memaksa.
Intensitas antara ekspektasi dan harapan yang berbeda, memang keduanya berada di jalur yang sama. Oleh karena itu, kita harus bisa menyeimbangkan keduanya dengan baik, terutama manajemen ekspektasi. Kenyataannya, ekspektasi lebih sering menyerang seseorang tanpa sadar. Dan, masih banyak dari kita yang kurang aware akan pentingnya skill manajemen ekspektasi. Sehingga mudah bagi kita untuk kecewa dan membandingkan diri dengan orang lain.
Fokus dengan Kendali Kita
Kebanyakan dari kita terlalu berempati terhadap orang lain tetapi lupa untuk berempati dengan diri sendiri. Rela meluangkan waktu memikirkan asumsi orang lain tentang diri kita. Sementara kita menyempatkan waktu untuk sekadar mendengarkan suara hati kita. Seakan-akan kehidupan kita harus disetir oleh orang lain. Dan kita hanya duduk di belakang. Padahal hati kita tidak menginginkan itu.
Pada konsep stoikisme terdapat konsep yang bisa menyeimbangkan manajemen ekspektasi. Pertama, fokus terhadap apa yang bisa kita kendalikan. Sesuatu yang terjadi di luar kendali, bukanlah tanggung jawab kita. Ketika kita memiliki keinginan, fokuslah terhadap rencana dan keyakinan kita. Pada saat proses pasti akan terjadi hal-hal di luar kendali kita. Salah satu hal yang bisa kita kendalikan adalah cara kita merespons.
Kedua, menerima apa pun hasilnya setelah kita berjuang dengan maksimal. Kita akan butuh perjuangan dan usaha dalam mencapai sesuatu. Pada buku Belajar Cara Belajar karya Syarif Rousyan Fikri dkk, intinya ketika kita memiliki tujuan jangan fokus terhadap tujuan, tetapi fokus pada impian. Misal, tujuan kamu ingin menjadi seorang penulis. Kamu harus fokus pada sistem atau tahapan mencapai tujuan itu: belajar menulis, mengikuti kelas/komunitas menulis, latihan menulis, dll.
Mengantisipasi Kegagalan
Kegagalan? Jatuh? Keduanya memang bukan akhir dari segalanya. Gagal dan jatuh adalah bagian dari proses. Jarang sekali ada orang pertama' mencoba langsung berhasil, mungkin ada, kebanyakan pasti dia memiliki privilese. Kita memahami bahwa kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Namun, banyak dari kita yang tidak menyadari pentingnya menyiapkan diri menghadapi kegagalan.
Bukan berarti kita mengharapkan kegagalan. Hanya saja semua orang tidak menyadari bahwa kegagalan merupakan suatu hal yang pasti. Denial, oleh karenanya kita perlu mengantisipasi diri terhadap kegagalan. Misal, kamu punya ekspektasi untuk bekerja di perusahaan besar. Kamu sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi kamu ditolak, gagal. Di sini ketika kamu tidak menyiapkan antisipasi sebelumnya kamu akan mudah menyerah dan mengalami stres.
Oleh karena itu pula, kita harus fokus pada sistem atau rencana daripada tujuan atau ekspektasi itu sendiri. Masih dalam konsep stoikisme, bahwa kita harus bisa dan belajar menerima hasil apa pun setelah kita berusaha maksimal. Jika kita sudah memiliki antisipasi menghadapi kegagalan, kita akan lebih mudah untuk bangkit dan memiliki rencana kembali untuk berjuang. Kita tetap boleh merasa sedih dan kecewa, tetapi jangan berlebihan.
Setop Membandingkan Diri dengan Orang Lain
Orang lain, kok, hidupnya enak, ya? Teman-teman yang lain, kok, hidupnya mulus-mulus saja, ya? Mengapa orang di sekitar bisa lebih sukses, ya? Sementara, kita hidup masih begini-begini saja. Tidak ada perkembangan. Kalah jauh dari teman-teman yang lain. Tanpa kita sadari, kita mengekspektasikan diri kita dengan standar orang lain. Kita ingin berhasil seperti orang lain, tetapi kita tidak ingin berhasil seperti apa yang kita inginkan.
Wajar kalau kita merasa tidak ada perkembangan karena waktu kita habis untuk menilai kesuksesan orang lain. Wajar kalau kita merasa tidak bisa apa-apa karena waktu belajar kita dirampas untuk membandingkan diri dengan orang lain.
Kita tidak menyadari bahwa masing-masing orang punya garis dan waktu yang berbeda. Kita tidak bisa menyamaratakan waktu berhasil semua orang di garis yang sama. Pun, kita tidak bisa menilai orang lain dari kelihatannya. Sementara kita tidak pernah tahu kesulitan yang mereka hadapi. Sering membandingkan diri membuat kita lupa untuk bersyukur. Balik lagi fokus terhadap hidup kita.
REALISTIS. Kadang yang membuat kita kecewa terhadap ekspektasi sendiri karena kita tidak realistis. Tidak menyesuaikan ekspektasi dengan kemampuan yang kita punya. Masing-masing orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Bukan berarti merendahkan diri sendiri. Bisa jadi kita melupakan kemampuan kita yang lain. Sehingga sebelum berekspektasi, kenali dulu jenis kemampuan kita.
Ekspektasi sering kali merangkai cerita di kepala. Cerita tersebut kemudian direspons secara nyata oleh emosi kita. Sehingga kita merasa ekspektasi tersebut terasa realistis. Padahal, rangkaian cerita yang dibuat oleh ekspektasi hanyalah ilusi. Hanyalah sebuah keinginan yang sebetulnya belum terjadi. Sebetulnya ini bagus untuk memancing kita termotivasi dalam menggapai impian. Namun, harus diseimbangkan agar tidak mudah kecewa.
Tidak perlu takut juga untuk merasa kecewa. Kecewa mengajarkan kita untuk belajar menghargai diri sendiri dan orang lain. Menghargai setiap langkah yang terjadi. Ekspektasi memang perlu sebagai pemantik, tetapi ekspektasi yang terlalu tinggi hanya membuat kita takut untuk bermimpi. Jadi, penting untuk kita manajemen ekspektasi
—
Referensi:
- What's The Difference Between an Expectation and a Hope?, Emotional ICU - https://www.emotionalicu.com/blog/difference-between-hope-and-expectation
- Hope vs Expectation, Claudia Angelina - https://claudialois.medium.com/hope-vs-expectation-f0d643c0d37a#:~:text=Ekspektasi%20juga%20biasanya%20bersifat%20jangka,keharmonisan%20atau%20kepentingan%20orang%20lain.
- Bagaimana Cara Mengelola Ekspektasi? I AdaApa? Eps.37, Sherly Annavita Rahmi - https://youtu.be/q9J9vDMg0ME?si=T2QVlPQ0YVWrj6yt
Posting Komentar