Preview

Hai, selamat datang di Neng Vina! Di blog ini kamu akan menemukan tulisan seputar kehidupan dan pengembangan diri. Barang kali kamu tidak akan merasa sendirian setelah membaca tulisanku. Enjoy my blog! 🧁

Keluar dari Zona Overthinking

Cerita over thinking
MALAM adalah waktunya rehat setelah seharian digempur realitas. Usai mematikan lampu kamar, raga merebah di atas ranjang. Memejamkan mata dalam kesunyian. Beberapa waktu kemudian, jiwa dibawa menempuh dimensi abstrak—orang menyebutnya dunia mimpi. Aku selalu bertanya-tanya tentang durasi mimpi yang begitu singkat. Seperti baru sebentar dan ketika terbangun, tiba-tiba sudah berganti hari. Kembali digempur realitas.

Sayangnya semua itu terlalu mulus untuk menjadi realitas. Setelah lampu dimatikan dan bergumul dengan semul. Sialnya suara berisik mulai berulah, asalnya dari kepala. Ingar bingar berperan sebagai preman, merampas waktu tidur. Seperti benang-benang kusut yang singgah di setiap sel otak, mengikat kuat. Kening berkedut. Dari balik kelopak mata, kentara sekali bola mata bergerak ke sana kemari.

Kesalahan-kesalahan hari ini—bahkan kemarin menjadi noda yang melumuri pikiran. Menyalahkan diri sendiri, memikirkan penilaian negatif orang lain, masalah-masalah yang belum selesai, semuanya dipikirkan. Belum lagi hari esok, lusa, tulat, tubin, dan masa depan yang penuh misteri. Tidur tidak tenang karena menyesal, bersalah, dan takut. Menyesali hari kemarin, bersalah akan hari ini dan takut menghadapi hari esok.

Memangnya tidak cape? Cape, serius. Namun, hingar bingar itu seakan-akan menjadi musuh yang melulu merundung. Mengungkit kebodohan diri hingga menumpuknya di sudut pikiran—dan menjalar. Aku ingin menghentikannya, tetapi aku terlalu lemah. Aku sering dengar—ingar bingar tadi—orang menyebutnya overthinking. Terdengar sedikit menyeramkan. Namun, mari coba kita cari tahu.

Alasan di Balik Overthinking 

Alasan dibalik overthinking
Overthinking merupakan istilah yang populer, terutama di kalangan Gen Z. Selalu memikirkan hal negatif secara berlebihan, hampir semua orang mengalaminya. Meskipun begitu, tetap saja fenomena overthinking bukanlah hal yang wajar. Bukankah sesuatu yang berlebihan itu tidak baik? Segala sesuatu ada porsinya supaya seimbang, begitu pula pikiran.

Manusia dikaruniai Tuhan elemen bernama pikiran. Sifatnya tidak terbatas, hampir setiap waktu kita menggunakan pikiran. Satu-satunya yang dapat merehatkan pikiran adalah tidur. Sekarang coba tanyakan pada diri sendiri, “Apakah aku sudah memanfaatkan pikiran dengan baik? Dampak—positif atau negatif—seperti apa yang telah diproduksi oleh pikiran aku?”

Simpan jawaban itu di dalam pikiran dan setelah membaca artikel ini. Silakan tumpahkan jawaban kamu di komentar, ya!

Melansir situs Universitas Gadjah Mada, dalam kuliah daring Central Public Mental Health (CPMH) UGM psikolog Wirdatul Anisa berkata, “Overthinking adalah menggunakan terlalu banyak waktu untuk memikirkan suatu hal dengan cara yang merugikan serta overthinking dapat berupa ruminasi dan khawatir.”

FYI. Ruminasi di sini adalah kondisi ketika kita cenderung memikirkan masa lalu secara terus-menerus dan menyesalinya. Sementara, khawatir yang disebutkan tadi maksudnya cenderung memikirkan prediksi negatif.

Dalam situs Ikatan Dokter Indonesia menyebutkan overthinking melibatkan tiga masa: masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Ketiga masa ini sama-sama membuat kita terperangkap dalam penyesalan, ketakutan, dan ketidaksiapan. Jika dibiarkan terus menerus akan memberikan dampak negatif sebagai berikut:
  • Kondisi mental: stres, cemas, dan depresi
  • Kondisi fisik: insomnia, sakit kepala, gangguan pencernaan, dan mudah lelah
  • Kondisi sosial: mudah merasa iri dan cemburu, tidak nyaman dan tidak bersantai saat sedang menikmati kebersamaan
  • Kondisi produktivitas: sulit untuk fokus dalam melakukan pekerjaan atau kegiatan produktif lainnya

Keluar dari Zona Overthinking 

Anehnya masih banyak dari kita yang ‘nyaman’ terjebak dalam zona overthinking. Merasa kehidupan terlalu berat bebannya, seakan-akan kita adalah manusia paling sengsara. Sejatinya, pikiran kita yang menyengsarakan diri sendiri. Nyatanya tidak mudah untuk lepas dari jeratan overthinking karena kita telah membiasakannya.

Kita tidak bisa terus-menerus diserang oleh pikiran sendiri. Kehidupan masih terus melaju, apakah kita mau selamanya terpenjara dalam pikiran negatif secara berlebihan? Pikiran merupakan elemen utama—amat vital—dalam menentukan langkah dan pilihan hidup. Jika pikiran kita negatif, ya, diri kita ikut negatif. Jika pikiran kita positif, maka diri kita akan dipenuhi suasana Positif.

Satu gebrakan yang harus kita lakukan adalah: keluar dari zona overthinking!

Keluar dari zona overthinking

1. Identifikasi Masalah

Kita memang tidak bisa menepis bentuk pikiran apa pun yang hadir. Akan selalu ada pemicunya. Hal tersebut terjadi di luar kendali kita. Namun, bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa, melainkan kita punya kendali. Balik lagi ke diri sendiri, apakah kita mau mengendalikannya? Apakah kita mau keluar dari zona overthinking?

Merenung dan overthinking sangat berbeda, jelas dari impact-nya. Merenung bertujuan untuk mengevaluasi diri. Barangkali kita melakukan kesalahan, adanya penyesalan, atau pengalaman yang kurang menyenangkan. Merenung membantu kita untuk mengidentifikasi masalah. Kemudian masalah tersebut akan dipelajari untuk dievaluasi. Artinya, perenungan menuntun kita keluar dari zona overthinking.

Biasanya hal yang membuat kita overthinking karena menangkap masalah dengan emosional: takut, khawatir, dll. Sebenarnya emosi tersebut merupakan respons otomatis. Namun, kita bisa meminimalisir dan berpikir rasional dengan mengindentifikasi masalah. Kita harus bisa mengendalikan emosi terlebih dulu, baru kemudian melakukan evaluasi dan mencari solusi.

2. Berdamai dengan Masa Lalu

Kalau boleh tahu, memangnya apa yang terjadi di masa lalu? Kadang kala kita terlalu menganggap masa lalu sebagai momok yang terus menghantui hari-hari kita. Datang seperti angin yang berbisik, tetapi diam-diam merasuki kepala dan berkeliaran. Yup, tanpa disadari kita membiarkan bayangan itu memporak-porandakan isi pikiran.

Kita pasti pernah merasa menyesali kesalahan yang sudah pernah terjadi. Terlalu larut sampai menyalahkan diri sendiri. Kita pasti pernah kembali mengingat pengalaman memalukan, berujung membodohi diri sendiri. Atau dari faktor eksternal seperti memiliki keluarga yang tidak harmonis atau hubungan sosial yang kurang baik. Sehingga meninggalkan jejak berupa traumatis.

Terjebak dalam penjara masa lalu tidak akan membuat kita berkembang. Melangkah maju pun tidak. Stuck di satu tempat saja. Sebetulnya, tidak masalah untuk kembali mengingat masa lalu. Bagaimanapun masa lalu adalah bagian dari hidup kita. Namun, kita perlu ubah sudut pandang. Daripada menjadikan masa lalu sebagai momok, mengapa kita tidak jadikan sebagai bahan pembelajaran?

Semua orang melakukan kesalahan. Semua orang memiliki masa lalu yang tidak baik-baik saja. Jika kita belum bisa keluar dari zona overthinking, mungkin kita belum berdamai dengan masa lalu. Menjadikan masa lalu untuk merendahkan dan menyalahkan diri. Sementara, masa lalu (yang negatif) adalah pengalaman dan proses pendewasaan untuk meningkatkan value diri dengan belajar dari kesalahan.

3. Fokus pada Solusi

Sebagai manusia memang perlu untuk berpikir. Akan tetapi, kita harus bisa menyaring dan menjaga pikiran tetap positif. Tidak hanya masa lalu, kita juga sering kali terjebak pada masalah yang sedang terjadi di masa sekarang. Memikirkan masalah juga tidak apa-apa, hanya saja akan menambah masalah jika dipikirkan berlebihan dan tidak solutif.

Apakah keputusan yang kita ambil saat ini sudah sesuai? Apakah pekerjaan dan hubungan yang dijalani saat ini merupakan langkah yang tepat? Memikirkan penilaian orang lain tentang diri kita, apa pun itu. Bahkan menyimpulkan asumsi sendiri atas sesuatu yang tidak pasti. Contohnya, teman atau bos berubah sikap, kemudian overthinking dan menyelidiki kesalahan sendiri.

Mengimajinasikan skenario terburuk—bagi aku—sebetulnya tidak masalah. Namun, jadikan skenario terburuk untuk mengantisipasi dan menyiapkan plan B. Akan tetapi, jika skenario terburuk terkesan tricky, sebaiknya hindari dan pikirkan skenario indah sehingga bersemangat untuk melangkah. Jangan sampai menyerah hanya karena kegagalan (skenario terburuk). Gagal dan salah itu wajar, keduanya bagian dari proses hidup kita untuk berkembang.

Pikirkan solusi untuk keluar dari zona overthinking. Keputusan yang sudah diambil, harus dijalani dengan optimis. Pekerjaan atau hubungan yang sedang berjalan, harus dinikmati dengan rasa syukur. Ketika merasa sikap orang lain berubah, lakukan validasi atau beri mereka waktu. Pahami bahwa kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Jangan buat pikiran terjebak dalam masalah terlalu dalam, tetapi mulai cari solusi atas masalah tersebut.

4. Sibukkan dengan Kegiatan Positif

Selain dari internal, kita juga perlu keluar dari zona overthinking dengan kegiatan produktif—baik sosial maupun individual. Overthinking sering kali memakan waktu lama, bahkan merampas sebagian waktu tidur. Kita harus punya kesadaran untuk membatasi dan menyetop ketika overthinking mulai melanda. Memang tidak mudah, tetapi kita harus bersikeras. Ingat poin-poin sebelumnya, ya!

Sudah saatnya untuk menggeser waktu overthinking dengan mulai menyusun jadwal produktif. Tentukan minat ataupun hobi yang kita sukai—pastikan bermanfaat. Berikan jadwal khusus untuk menekuni bidang minat tersebut hingga menjadi sebuah potensi (value). Jika dirasa sudah memiliki potensi, misalnya suka menulis, kita bisa mulai bergabung komunitas kepenulisan, konsisten menulis di platform menulis.

Dengan begitu, waktu overthinking setidaknya akan terminimalisir. Tergantikan kegiatan produksi yang membuat waktu lebih bermakna dan bernilai. Kepercayaan diri stabil dan tidak merasa kurang. Sebab, overthinking sering kali melahirkan sikap rendah diri, self compare, dan perasaan-perasaan yang membuat diri merasa tidak berguna.

Selain itu, kita harus menumpuk pikiran negatif yang berlebihan dengan pikiran positif. Saat overthinking kadang kita cenderung merendahkan diri sendiri. Coba untuk menganggap diri kita layak dan berharga. Apa yang terjadi di masa lalu sudah cukup disesali, saatnya dipelajari. Apa yang terjadi di masa sekarang, harus dijalani meski susah, tetapi kita sedang melalui proses hidup. Dan apa yang akan terjadi di masa depan bukan untuk ditakuti, melainkan direncanakan.

Percaya pada takdir Tuhan

5. Hadapi Masa Depan

Salah satu ketakutan terbesar overthinker adalah masa depan. Siapa yang tahu peristiwa akan masa depan? Layaknya sebuah misteri yang begitu dekat. Sering kali kita sibuk bergumul dengan rasa takut mengkhawatirkan nasib tentang masa yang akan datang. Belum lagi tekanan-tekanan dari lingkungan sekitar. Penilaian dan omongan orang lain pun terjadi di luar kendali kita. Namun, bagaimana kita menyikapinya merupakan kendali kita.

Misal, khawatir di usia sekian belum menikah, finansial kurang baik, mengkhawatirkan diri sendiri, dll. Kekhawatiran tersebut melahirkan pikiran negatif yang berlebihan: overthinking. Dikurung ketakutan dan ketidaksiapan menghadapi hal abstrak di masa depan. Di saat yang bersamaan, kita tidak menyadari bahwa semua itu hanya ilusi yang direspons nyata oleh emosi. Tidak menyadari bahwa semua itu tidak benar-benar terjadi.

Satu hal yang perlu kita ketahui, betapa pikiran akan sangat memungkinkan terjadi di realitas. Misal, ketika kita takut jika di masa depan tidak kunjung menikah/mendapatkan jodoh. Pikiran kita menjadi negatif dan akan berpengaruh terhadap emosi. Kita akan merasa takut, tidak percaya diri, ragu, bahkan menutup diri. Emosi tersebut akan membuat usaha kita untuk menemukan jodoh jadi terhambat.

Sejatinya, bukankah Tuhan sudah mempersiapkan segalanya untuk kita? Bukankah Tuhan telah menggariskan takdir kita? Lantas, mengapa kita harus merasa takut ketika Tuhan sudah menjamin kehidupan kita? Dan, bukankah Tuhan memerintahkan kita untuk berusaha dan berjuang meraih impian kita? Bagaimana jika impian tersebut tidak berhasil dicapai? Ada dua kemungkinan: belum waktunya atau bukan yang terbaik. Selanjutnya kembali percaya pada rencana Tuhan dan berjuang.

SEMUA orang memiliki masalahnya masing-masing. Dan setiap orang akan merasa kesulitan dan terbebani atas masalah yang terjadi. Memikirkan masalah secara berlebihan tanpa ada solusi, sama saja melipat gandakan masalah. Kita memang tidak punya kuasa atas orang lain, tetapi kita punya kuasa atas diri kita. Kita bisa keluar dari zona overthinking, jika kita menginginkannya.


Referensi:

  • Mengenal Overthinking, Memahami Dampak, dan Cara Mengatasinya, Ikatan Dokter Indonesia - https://www.idionline.org/article/mengenal-overthinking-memahami-dampak-dan-cara-mengatasinya
  • Psikolog UGM Jelaskan Cara Atasi Overthinking, Universitas Gadjah Mada - https://ugm.ac.id/id/berita/22688-psikolog-ugm-jelaskan-cara-atasi-overthinking/


Posting Komentar