Preview

Hai, selamat datang di Neng Vina! Di blog ini kamu akan menemukan tulisan seputar kehidupan dan pengembangan diri. Barang kali kamu tidak akan merasa sendirian setelah membaca tulisanku. Enjoy my blog! 🧁

Alasan Kita Merasa Kecewa

merasa kecewa

SEBERAPA sering rasa kecewa itu hadir dalam hidup kamu? Atau mungkin saat ini kamu sedang merasakannya? Kalau iya, mungkin Tuhan ingin kamu membaca tulisan aku kali ini. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan tentang kecewa. Betapa kekecewaan hadir bukan tanpa alasan. Bisa jadi kita yang tidak menyadari pentingnya rasa kecewa. Harus kukatakan, manusia butuh kecewa.

Alasan Kita Merasa Kecewa, Apakah Perlu?

Berada dalam kekecewaan, kita merasa tidak bahagia, tidak nyaman, tidak puas, sedih, dan mungkin marah. Semua orang pernah merasa kecewa, kok. Namun, tidak semua orang mampu menghadapi kekecewaan. Perasaan kecewa berpengaruh terhadap kegiatan sehari-hari. Makan tidak berselera. Tidak bergairah melakukan kegiatan. Jadi tidak produktif.

Selalu ada pemicu dari kekecewaan yang hadir. Hanya saja, kita sendiri tidak menyadarinya. Wajar, kok, kalau kita dilanda kecewa. Tidak bisa dimungkiri fakta bahwa kecewa merupakan salah satu jenis emosi yang dimiliki manusia. Artinya, kita pun sudah dipersiapkan untuk menghadapi rasa kecewa. Sayangnya, sekolah tidak menghadirkan pelajaran kecewa. Sayangnya, orangtua kita tidak mengajarkan kita menghadapi kecewa.

Memang. Kecewa bukanlah teori yang bisa kita pelajari di sekolah maupun di rumah. Namun, kecewa adalah perasaan yang datang karena sebuah peristiwa atau realitas. Misal, kita tidak mendapatkan nilai bagus dari guru, kita dikhianati oleh teman, dan kita tidak dibolehkan menjadi seperti yang kita impikan oleh orangtua. Semua itu adalah kenyataan yang menimbulkan perasaan kecewa.

Dengan kata lain, manusia tidak memberikan pelajaran kecewa secara teori. Akan tetapi, manusia memberikan kita rasa kecewa secara nyata. Dan saat itulah, kita bisa belajar memahami dan menghadapi kekecewaan.

Alasan kita merasa kecewa

Tidak Menyiapkan Risiko dan Konsekuensi

Setiap keputusan yang kita ambil akan selalu ada risiko dan konsekuensi yang harus dihadapi. Kedua elemen tersebut tidak bisa dihindari. Di sisi lain, kita tidak punya kemampuan terkait risiko dan konsekuensi macam apa yang akan terjadi? Apakah akan membuat kita gagal? Namun, satu hal yang pasti, akan ada masanya kita merasa menyesal telah mengambil keputusan tersebut.

Alasan kita merasa kecewa ditandai dengan ketidaksiapan terhadap risiko dan konsekuensi. Iya, kita memang tidak tahu bentuk risiko dan konsekuensi. Akan tetapi, seharusnya kita punya antisipasi dengan menerka-nerka. Bahwa tidak semua keputusan dan proses akan berjalan mulus. Ada hambatan dan rintangan. Ketidaktahuan kita terhadap keberadaan risiko dan konsekuensi inilah yang memicu kecewa.

Lantas, apakah kita tidak usah mengambil keputusan agar tidak merasa kecewa? Tentu itu bukan pola pikir yang tepat. Hidup adalah pilihan, dan dalam setiap pilihan ada keputusan yang harus dipilih. Misal, ketika menghadapi fase quarter life crisis. Kondisi seseorang berada di persimpangan jalan, kemudian harus memilih jalan yang akan ditempuh.

Bagaimana kalau keputusan yang kita ambil merupakan kesalahan? Percaya, deh, bahkan dalam setiap keputusan yang kita ambil menyimpan pelajaran berharga. Tahu, tidak? Pelajaran hidup seperti ini sangat berguna dan berharga. Salah satunya pelajaran kecewa, right? Begitupun keputusan yang tepat, tetap memiliki risiko dan konsekuensi. Tugas kita bukan tidak mengambil keputusan, melainkan siap menghadapi risiko dan konsekuensi.

Terlalu Berharap dan Berekspektasi Tinggi

Pernahkah kamu menginginkan sesuatu, kemudian kamu menyimpan keinginan itu dalam harapan, lantas meningkatkan keinginan dalam bentuk ekspektasi? Harapan dan ekspektasi memang punya keterikatan yang sangat erat. Keduanya mampu bekerja sama dalam merancang keinginan. Akan tetapi, harapan dan ekspektasi tidak bertugas mewujudkan keinginan.

Apa yang salah? Tidak ada. Kita berhak punya harapan dan ekspektasi untuk menentukan masa depan. Akan tetapi, sesuatu yang berlebihan itu tidak selamanya baik, kan? Punya harapan dan ekspektasi tinggi ternyata merupakan tindakan yang kurang tepat. Alih-alih mewujudkan keinginan, justru memicu alasan kita merasa kecewa.

Sesederhana berharap dicintai kembali, tetapi realitas tidak memanifestasikannya. Berharap terhadap seseorang yang ternyata tidak bisa memenuhi harapan kita. Pada akhirnya, kita pun harus belajar memahami konsep bahwa manusia pun ada kalanya memberikan kecewa. Artinya, kita perlu mengatur porsi harapan, agar ekspektasi tidak terlalu tinggi.

Melulu berharap dan berekspektasi, tanpa melakukan aksi pun tidak akan ada hasilnya. Namun, ketika harapan dan ekspektasi tidak terpenuhi, sementara kita sudah beraksi. Artinya, keinginan tersebut bukan kebutuhan kita. Iya, kita suka lupa bahwa kita punya kebutuhan yang harus diprioritaskan. Terlalu fokus pada keinginan yang belum tentu menjadi kebutuhan kita.

Bisa jadi hal yang membuat kita kecewa adalah ketika kita terlalu memaksakan diri mengejar keinginan yang ternyata bukan kebutuhan kita.

Belum Menerima dan Belum Merelakan

Hampir dari kita pernah mengalami penolakan. Ditolak sekolah atau perguruan tinggi impian, ditolak kerja, ditolak cinta, dan penolakan-penolakan minor lainnya. Selanjutnya, apa lagi kalau bukan kecewa yang mendera? Pada kondisi ini kita merasa kehidupan tidak adil. Ketika segala usaha dan proses telah dikerahkan, lantas realitas dengan keras menolak. 

Rasa kecewa akan terasa mendalam dan menyakitkan ketika tidak segera divalidasi. Boleh kita merasa kecewa, tetapi apabila terlalu larut pun membuat kita sulit bangkit. Hal ini biasanya ketika menghadapi sesuatu atau sosok yang hilang atau pergi. Kemudian merasa kecewa dan tidak bisa menerima kenyataan yang terjadi. Rasa tidak terima ini memicu alasan kita merasa kecewa.

Kita perlu memahami, apa yang kita miliki suatu waktu bisa jadi akan pergi. Dan, kita perlu mengerti bahwa tidak semua keinginan perlu penerimaan. Remember that, people come and go. Kita hanya antusias terhadap kedatangan, tetapi abai untuk merelakan kepergian. Mudah bagi kita menyambut kehadiran, lantas mengapa sulit merelakan kehilangan? Bukankah keduanya adalah hukum alam yang pasti?


Hidup itu tidak selamanya mewujudkan keinginan kita. Kita juga harus belajar menerima realitas yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Belajar merelakan sesuatu yang pergi atau hilang. Artinya, itu bukan milik kita, bukan kebutuhan kita. Bisa jadi hal yang membuat kita kecewa adalah karena menyimpan perasaan afeksi. Bahkan, sesuatu atau seseorang yang kita sayang pun bisa tidak menyayangi kita.

Bukan berarti kita tidak boleh mencintai atau tidak menyayangi siapa/apa pun. Sebagai manusia, kita memiliki emosi yang disebut bahagia. Perasaan bahagia tersebut didasari oleh cintamu dan sayang. Hidup mempersiapkan kita untuk itu. Pada akhirnya, kita pun harus belajar menerima dan merelakan untuk belajar memahami kekecewaan.

Kita perlu merasa kecewa

Karena Kita Perlu Kecewa

Alasan kita merasa kecewa, jawabannya sederhana. Kita harus kecewa karena kita perlu rasa kecewa. Sebab, kecewa bukan teori, sehingga kita perlu merasa kecewa untuk bisa mempelajarinya. Untuk apa belajar perasaan kecewa? Agar kita tahu cara menghadapi dan mengatasinya.

Kecewa memang merupakan salah satu bentuk emosi negatif. Dan, emosi negatif itu ada dalam diri kita. Sesuatu yang ada dan disematkan dalam diri kita akan selalu ada kebaikan. Bayangkan kalau kita tidak pernah merasa kecewa, apakah kita akan tahu rasanya mengikhlaskan? Bayangkan kalau kita tidak merasa kecewa, apakah kita akan menjadi dewasa?

Kecewa mengajarkan kita untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan, menempatkan kepercayaan, berharap dan berekspektasi, serta menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Kecewa mengajarkan kita untuk lebih menghargai waktu dan siapa/apa pun yang ada di sekitar kita. Sebab, saat kita memiliki sesuatu, kadang terlena dan lupa untuk bersyukur.

Ketika kita merasa kecewa, berarti kita punya empati karena memiliki kepedulian. Kecewa merupakan salah satu bentuk pendewasaan diri. Setiap orang akan melewati jalan atau fase yang melatih kita menjadi dewasa. Jadi, tidak ada salahnya menikmati' perasaan kecewa untuk proses pendewasaan diri. Sebab, kehidupan di luar sana tidak melulu senang-senang. Sehingga perlu sikap dewasa untuk menghadapi dunia kehidupan.

KECEWA tidak seburuk itu selama kita mampu mengambil hikmahnya, kan? Nah, sekarang kamu sudah tahu, kan, pelajaran mengenai kecewa. Kalau kamu sendiri, hal apa yang memicu rasa kecewa? Alasan kita merasa kecewa karena kita perlu kecewa.

5 komentar

  1. Tidak selamanya semua akan berjalan baik-baik saja, kadang memang kita perlu kecewa agar kita belajar untuk menjadi lebih kuat lagi, bukan

    BalasHapus
  2. Aku pernah kecewa dan itu gapapa banget. Memvalidasi perasaan kecewa juga bisa membuat kita belajar banyak hal untuk menentukan step selanjutnya. Bener banget nih ekspektasi yang tinggi juga kerap kali bikin kita mudah kecewa. Makanya jangan berekspektasi, cukup lakukan yang terbaik aja.

    BalasHapus
  3. Merasa kecewa wajar ya, manusiawi banget. Nggak ada yang salah dengan kecewa. Mungkin ekspektasi kita yang berlebihan. Terlalu tinggi. Ya, mungkin kita merasa kecewa karena emang kita sedang butuh kecewa aja.

    BalasHapus
  4. Belajar terus untuk bisa menerima, agar tak ada kekecewaan yang tak perlu. Meski memang rasa kecewa itu perlu ada, tapi harus bisa dikendalikan.

    BalasHapus
  5. Kecewa adalah sebuah perasaan yang wajar muncul...tapi jangan dibiarkan karena kita harus bangkit lagi dari kekecewaan. Jangan menaruh kepercayaan 100% pada orang agar tifak terlalu kecew jika tak sesuai ekspektasi.

    BalasHapus