Preview

Hai, selamat datang di Neng Vina! Di blog ini kamu akan menemukan tulisan seputar kehidupan dan pengembangan diri. Barang kali kamu tidak akan merasa sendirian setelah membaca tulisanku. Enjoy my blog! 🧁

Quarter Life Crisis: Kehidupan Pekerjaan dan Kehidupan Percintaan

MENGINJAK dewasa muda. Rasa-rasanya tidak afdol, ya, kalau tidak mengalami yang namanya quarter life crisis? QLC sudah seperti gerbang besar yang mesti didobrak dengan effort besar untuk bisa menjadi dewasa seutuhnya. Baik secara usia maupun pemikiran. Nyatanya, banyak orang tua yang masih belum dewasa secara berpikir. Banyak cara untuk menjadi dewasa, salah satunya dengan menghadapi quarter life crisis.

Di usia mendekati 25 tahun ini, aku mulai merasakan kekhawatiran tentang masa depan. Masalah karier dan juga persoalan asmara. Kadang-kadang meragukan diri sendiri, apa impian bisa tercapai? Impian itu seperti langit yang tinggi, hanya bisa dilihat dari bawah. Oleh karenanya, aku tidak berani menggantungkan mimpi setinggi langit. Aku hanya bisa menggenggamnya sekuat tenaga. Aku cuma modal percaya diri dan konsisten. 

Menjadi Dewasa: Menghadapi Quarter Life Crisis 

Kehidupan persimpangan
Beberapa waktu lalu aku membaca buku berjudul Quarter Life-Crisis yang ditulis oleh seorang psikologis klinis, Yulius Steven. Ketertarikanku membaca buku tersebut didasari karena sering kali menerima curhatan dari teman sekitar tentang kegalauan mereka di usia 20-an ke atas, baik masalah karier atau percintaan. Dari situ aku merasa bahwa usia-usia quarter memang jadi salah satu fase yang berat karena musuh terbesar bukan hanya dari faktor eksternal. Diri sendiri pun punya andil menjelma jadi musuh.

Sebenarnya, masing-masing orang pasti punya impian. Namun, tidak semua orang begitu percaya dengan realitas impian. Impian itu rasa-rasanya seperti kisah inspiratif yang hanya dimiliki orang lain atau bak motivasi di film-film. Katanya, impian itu butuh modal, butuh uang, butuh orang dalam. Akhirnya, pesimis karena kurangnya modal. Akhirnya, menjalani hari dengan quarter life crisis.

Bermimpi di era sekarang memang harus diakui, sulit. Mau kerja di perusahaan terhambat orang dalam. Mau buka usaha, tetapi tidak ada modal. Semua mimpi ada hambatannya. Namun, pada akhirnya pola pikir kita juga yang akan menentukan usaha untuk meraih impian tersebut. Aku yakin, bahwa siapa pun berhak meraih impiannya, ya, hambatan tetaplah hambatan. Tinggal gimana kita bisa melaluinya aja, ‘kan?

Kalau pola pikir kita sudah menyerah dengan hambatan yang ada… ya, susah. Ada orang dalam bukan berarti kita tidak bisa kerja di perusahaan, ‘kan? Tidak punya banyak uang bukan Berarti kita tidak bisa memulai usaha, ‘kan? Ada hambatan bukan berarti tidak bisa dilalui, ‘kan? Pun, kita juga tidak bisa berharap orang lain akan membantu kita. Berharap pada manusia, berpeluang mengecewakan.

Aku pun begitu, berusaha percaya bahwa aku bisa meraih impianku. Dengan kemampuan yang kumiliki, setidaknya tahu arah dan jalan mana saja yang mesti ditempuh. Yang pasti, sebisa mungkin menghindari rasa minder dan suka membandingkan diri dengan orang lain. BIG NO. Sama saja memasukkan diri ke dalam jurang. Insecure yang berlebihan itu cikal bakal kesulitan meraih impian.

Hampir semua orang mengalami quarter life crisis, kok, bukan kamu saja. Semua orang mengalami kegalauan di usia dewasa muda.  mau jadi apa? Mau punya pasangan yang seperti apa? Mau nikah kapan? Mau lanjut kuliah atau kerja? Mau kerja apa? Mau gaji tetap atau kerja sesuai passion? Dan pertanyaan lainnya. Usia dewasa muda seperti kita berdiri di persimpangan jalan, mau jalan yang mana? Dan, setiap jalan harus membuat keputusan besar. Wajar apabila kita merasa terimpit dengan berbagai pilihan sulit. Belum lagi menghadapi tuntutan orang sekitar.

Dalam buku Quarter Life-Crisis, Yulius Steven membeberkan data. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Dr. Oliver Robinson dari Universitas Greenwich di London bahwa 86% dari 1.100 dewasa muda usia 20-30 tahun mengalami Quarter Life-Crisis.

Masalah yang Kerap Terjadi: Work Life and Love Life

Ada pembahasan yang menarik untuk dipaparkan kembali di sini. Masih dalam buku sama yang ditulis oleh Yulius Steven. Sebelumnya sudah sempat kusinggung. Terkait masalah yang sering terjadi pada fase QLC ini, work life dan love life. Mari kita bahas dan aku memasukkan sudut pandangku juga, ya. 

Work Life

kehidupan pekerjaan
Kalau sudah lulus kuliah, biasanya akan dihadapkan dengan dua pilihan. Antara mau gap year atau mau langsung cari kerja? Dan, kalau memilih kerja, mau kerja dengan orang lain atau buka usaha? Mau pilih gaji bagus atau sesuai passion? Untung, kalau-kalau passion kamu sesuai dengan gaji yang oke. Kamu harus mulai menentukan karier kamu seperti apa dan pikirkan gimana cara mendapatkannya?

Tidak ada yang salah, kok, kalau kamu memilih untuk kerja dengan gaji besar. Ya, realistis saja tidak, sih? Hari gini, segalanya butuh uang. Dan, tidak ada salahnya juga untuk memilih menekuni passion, memilih menjadi idealis dan biasanya akan mulai jadi freelancer. Semua itu hak kamu, asalkan kamu memahami risiko dan konsekuensinya. 

Kalau kerja freelance, kita sama-sama tahu kalau gajinya tidak tetap, nominalnya pun kadang tidak begitu besar. Namun, selama kerja dilakukan dengan hati, giat mengembangkan passion dan meningkatkan kualitas diri, tidak menutup kemungkinan punya potensi karier yang lebih baik lagi, ‘kan?

Lah, kalau aku kerja karena memang tuntutan beban. Harus bayar tagihan ini-itu. Suka tidak suka, ya, harus kerja banting tulang. Yang penting gaji tetap dan bisa memenuhi kebutuhan hidup.

Dilema. Kadang kita juga bekerja dengan terpaksa karena banyaknya tekanan sana-sini. Tidak ada pikiran untuk mengembangkan passion karena ada kebutuhan hidup diri dan orang lain yang mesti dipenuhi—kadang malah melupakan kebutuhan diri sendiri. Akhirnya, sibuk kerja sampai tidak ada waktu untuk keluarga dan lupa dengan kondisi kesehatan.

Kerja sesuai passion, uangnya tidak tetap dan butuh waktu untuk punya pendapatan yang banyak. Kerja dengan orang lain, suka tidak suka, mau tidak mau harus dijalani. Tergantung dan balik lagi ke diri kamu sendiri. Kalau kata Yulius Steven, untuk apa kerja kalau tidak bahagia, stres, dan tidak punya waktu untuk keluarga?

Pastinya kita harus punya work life balance. Tidak bisa ditepis, mau kerja sesuai passion ataupun tidak, sama-sama ada masalahnya. Supaya karier lebih seimbang, jalani dengan enjoy. Kalau kita berusaha untuk santai, kita akan lebih mudah menikmati hidup dan bahagia.

Bahagia itu sederhana, kadang yang bikin kita juga susah bahagia, ya, karena standar bahagia yang terlalu tinggi.”

Love Life

Kehidupan percintaan
Is she/he the one?

Salah satu impian di usia 20-an adalah menikah. Menikah menjadi salah satu fase kehidupan yang hampir semua orang inginkan. Namun, tidak jarang, menikah merupakan salah satu kekhawatiran tersendiri karena membutuhkan pikiran dan keputusan besar. Sebab, banyak sekali berbagai rintangan yang harus dihadapi.

Pernikahan, momen sakral yang harus terjadi sekali seumur hidup. Sehingga banyak yang harus dipertimbangkan dan dipersiapkan. Salah satu yang paling penting adalah calon pasangan. Tentunya, kita harus memilih calon pasangan yang cocok dan sesuai dengan diri kita dan kita juga bisa menyesuaikan diri dengan calon pasangan.

Punya tipe ideal itu wajar, kok, tetapi kita harus memahami kalau tipe ideal tidak bisa dijadikan acuan dalam memilih pasangan. Apakah bebet-bobot idealnya calon pasangan kita bisa memberikan kenyamanan saat berkomunikasi? Apalah bebet-bobot idealnya calon pasangan kita bisa menjadi support system terbaik dalam setiap langkah yang kita ambil?

Fisik tidak melulu bisa dijadikan acuan. Semua orang pasti menginginkan punya calon pasangan yang baik, tetapi apakah dia bisa bertanggung jawab dan membersamai kita dalam suka dan duka? Kecocokan ini bukan diukur dari tipe ideal, melainkan punya cara pikir, pandangan, dan nilai kehidupan yang sama. Kuncinya adalah komunikasi.

Satu hal yang harus kita sadari bahwa, pernikahan itu memang membahagiakan, tetapi pernikahan juga memiliki banyak sekali rintangan yang harus dihadapi oleh pasangan. Artinya, kita harus memilih pasangan yang benar-benar bisa diajak menghadapi segala rintangan yang terjadi di depan mata.

QUARTER LIFE CRISIS merupakan fase yang tidak mudah untuk dilalui. Namun, layaknya jalan, fase QLC tetap harus kita tempuh untuk bisa sampai tujuan. Selama kita punya tujuan, setidaknya kita mengetahui jalan mana yang ditempuh. Kalau masih belum punya tujuan, duduk dulu di pinggir jalan sebelum mulai melangkah.

Hidup memang banyak pilihan, persimpangan jalan seakan-akan menghantui, sementara orang-orang sekitar sibuk mendorong kita untuk maju dan melangkah menuju salah satu jalan. Semua orang mengalami quarter life crisis dan kamu bisa melaluinya.



Posting Komentar